Kamis, 30 September 2010

Good Will Hunting (1997)

Director : Gus Van sant
Cast : Matt Damon, Ben Affleck, Stellan Skarsgaard, Robin Williams, Minnie Driver
Rate : 4,5/5


Katanya, belajar matematika itu adalah tindakan paling praktis untuk merusak otak. Saya kurang setuju, bahkan sangat tidak setuju. Seni berhitung serumit apapun tetap memiliki sisi positif dan masih bersifat menghibur. At least, menghibur dalam artian melancarkan kerja otak yang melulu diisi asupan berita dunia. Banyak film yang menegaskan secara terbuka tentang pelajaran ini, yang paling menonjol adalah 'karikatur' kecil dari dunia John Nash -si matematikawan sukses- dalam feature buatan Ron Howard, A Beautiful Mind. Dan, meskipun dalam Good Will Hunting juga menekankan pada pelajaran rumit ini, tetapi ada sisi lain yang dijelaskan dalam arahan Gus Van Sant ini.

Bercerita tentang seorang buruh muda yang mengisi soal sulit di suatu universitas. Perlu diketahui sebelumnya, Will Hunting adalah seorang muda pintar namun bengal karena pengaruh masa kecilnya yang suram. Will diberkahi otak cerdas luar biasa yang mampu memahami pelajaran sulit kendati tidak mengenyam masa persekolahan. Singkat cerita, Will dipertemukan dengan seorang guru yang ditugaskan untuk 'mengubah' pemikiran Will sekaligus mengajak untuk memandang masa depan tanpa harus membaurkan masa lalunya. Will juga harus membagi waktu dengan pacarnya yang mengalami konflik batin di antara keduanya.


Begitu banyaknya dialog bermutu yang bertebaran sepanjang film ini. Tulisan naskah yang sungguh brilian dari duo scriptwriter amatir (pada waktu itu) Matt Damon dan Ben Affleck. Mereka berhasil membagi part-part penting agar tidak bertabrakan sehingga tetap memberikan ruang untuk aktornya bermain santai namun berenergi. Liat saja di adegan bar, duet dialog antara Will dan Sean, Sean dan Henry, ataupun Will dan kekasihnya. Jadi tak heran jika Matt-Affleck didapuk sebagai pemenang naskah terbaik di ajang Oscar. Hebatnya, Gus Van Sant menstabilkan semuanya dengan pengeksekusian yang pas. Van sukses mensyut klimaks penting agar terlihat bermutu. Van juga menggunakan close-up style agar lebih intim dengan sang tokoh. Berhasil, karena penontonpun ikut terbuai karenanya.


Dibantu juga dengan berbagai lagu dan alunan musik yang pas, film ini jadi lebih sendu tapi juga membawa pesona tersendiri. Puncaknya lagu Miss Misery yang kontan menghanyutkan penonton kala Will akan menemukan cintanya.


Film ini jelas sekali mengajarkan kita untuk selalu menyiram bibit yang sudah ada di diri kita dengan penuh sikap positif. Tidak diharuskam kita bersalah kaprah dengan anugrah yang kita dapat. Will mewakili para makhluk pintar di dunia agar tidak pongah dan selalu setia menghargai orang lain. Yah, orang pintar itu langka tapi tidak juga harus merasa orang pintar hanyalah diri kita sendiri. Percakapan yang paling seru tentu saja terletak di adegan Will-Sean yang sangat mentolerir perbuatan Will namun perlahan akan membuat Will sadar betapa singkatnya dunia ini untuk dinikmati.


Permainan super fantastis datang dari Matt Damon yang sukses bertransformasi menjadi pria tengil namun memendam dendam masa lalu yang sangat pedih. Pun yang dilakukan Minnie Driver yang mengimbangi performa Damon dengan sangat baik. Namun yang memperoleh Oscar adalah Robin Williams yang menunjukkan akting kasta tinggi sebagai sang guru terapis. Dengan brewok dan badan tambun serta tampang seriusnya, Robin menjelma menjadi sosok yang patut dicontoh dan diperbanyak. Stellan Skarsgaard, Ben dan Casey Affleck bermain pas porsi dan mampu mengisi slot tugasnya.


My verdict : Good Will Hunting memberikan kita ketegasan dan bukti konkrit jika ilmu itu perlu disejalankan dengan attitude yang baik. Kukungan masa lalu yang menyesatkan biarlah menjadi suatu cermin bias agar kita mengerti jika hidup itu bak roda yang sedang berputar. Gus Van Sant serta para pekerja aktingnya menyuguhkan sebuah karya monumental yang tidak hanya membekas di hati, tapi juga memberikan ruang untuk berpikir keras. I was in good mood when i watched Good Will Hunting. After that, there's a reflection i can find from this after all. Life isn't always for ourselves. Happy watching!

Lost in Translation (2003)

Director : Sofia Coppola
Cast : Bill Murray, Scarlett Johansson, Giovanni Ribbisi, Anna Farris
Rate : 4/5



In Japan, both of them ran from their routine activities. They started with smile, and ended it with whisper. Beautiful movie.


Bill Murray adalah Bob Harris, aktor yang tak lagi terkenal di negaranya namun masih dipuja dan laris di Jepang. Kedatangannya untuk mempromosikan serta syuting iklan produk setempat. Dan Scarlett Johansson adalah Charlotte, istri muda yang sering ditinggal suaminya yang seorang fotografer. Mereka memiliki kesamaan : hidup dalam kesendirian di negara orang dan merasa kemunduran dalam berumah tangga. Mereka tidak sengaja bertemu dan akhirnya menjalin persahabatan dengan Jepang sebagai latar dan saksinya. Premis singkat dari film yang berjudul Lost in Translation.

Sofia Coppola sebagai pembesut dan scriptwriter-nya adalah pahlawan untuk film ini. Penyutradaraan yang cantik dengan menyorot suasana Jepang dengan tema percintaan beda usia berhasil melarutkan penonton untuk ikut serta ke filmnya. Sofia dengan naskahnya berhasil membentuk karakter tokohnya dengan sangat natural. Dan meskipun film ini dilabeli sebagai komedi romantis, tapi penonjolan romansanya tidak murahan. Percintaan lintas usia dengan sub-plot perselingkuhan diparadekan dengan sangat manis. Dan penempatan masalah internal keluarga pun bukan hanya sebuah tempelan nampun juga sebagai kunci bagaimana dua tokohnya bisa terlebih sangat jenuh.


Lost in Translation
yang berlokasi di Jepang sudah jelas menyorot segala hal yang berhubungan dengan negara itu. Seperti misal warganya yang penuh hormat kepada sesama, seni merangkai bunga, kehidupan jam sibuk di siang hari serta dunia malam yang sangat Jepang sekali. Film ini perlahan juga sedikit mengarah ke wilayah komedi karena berkat bantuan beberapa adegan yang berhasil membuat tersenyum simpul.


Merunut judulnya, tokoh utama kita memang mengalami 'lost in translation.' Bob mesti kewalahan meladeni warga setempat dalam berkomunikasi dan mengikuti kebudayaan mereka. Puncaknya adalah saat Bob harus meladeni seorang mucikari dan berbicara dengan seorang kakek. Kontradiksi kultur dan lidah dalam berujar sangat diperlihatkan.


Untuk itu, kehebatan akting para pemainnya sangat berjasa dalam film ini. Bill menjadi penyendiri murni pengidap insomnia akut dengan sangat memesona. Muka lucu serta gesture aktingnya mengacu pada kelas atas oleh seorang aktor. Walaupun Johansson masih pemula, pesona dan chemistry-nya dengan Bill pun sudah sangat klop. Kedua tokohnya juga tidak terjebak dalam percintaan kacangan berkat pesona apik dari Bill dan Johansson. Dialog antar keduanya sangat berbobot dan memiliki makna di setiap kalimatnya.


Lost in Translation
menjadi salah satu film romantis tanpa ada kesan yang dipaksakan romantis. Persenggangan hubungan rumah tanggapun dibuat begitu alami dengan balutan indah negara Jepang. Pertemuan antar tokoh yang menjurus perselingkuhanpun diperlihatkan dengan berkelas berkat bantuan aktornya. Dan singkatnya, Lost in Translation memiliki pesan jika lingkungan akan mengubah sudut pandang kita apalagi jika dunia sedang berada dalam keterpurukan. Happy Watching!

Senin, 27 September 2010

Up in the Air (2009)



Director : Jason Reitman
Cast : George Clooney, Vera Farmiga, Anna Kendrick, Jason Bateman
Rate : 4,5/5
Ketika saya mengetahui jika Jason Reitman akan kembali membuat film drama dengan mengajak George Clooney sebagai aktornya, saat itu juga saya sudah mewaspadai jika film tersebut akan menjadi karya yang sangat pintar. Dan, beberapa bulan kemudian hal itu menjadi beralasan saat saya melihat hasil akhir Up in the Air yang memang brilian dalam menyajikan tema sederhana menjadi sebuah film sarat makna. Seperti Juno yang mencoba membawa penonton ke area pendewasaan diri, Up in the Air malah diperlihatkan bagaimana seorang dewasa yang memiliki sifat keremajaan. Lupa akan umur, lupa akan perasaan orang sekitar, dan lupa akan betapa pentingnya bersosialisasi.

Up in the Air bercerita tentang Ryan Bingham, seorang pegawai yang hanya bekerja memecat karyawan suatu perusahaan. Di tengah hidupnya yang gemilang keberhasilan, ia dihadapkan oleh seorang pegawai wanita muda yang merencanakan hal baru dalam proses pemecatan agar lebih efisien. Belum lagi, di tengah tugas Ryan bertemu perempuan berperangai sama tapi bedanya memandang hidup lebih terarah. Ryan seperti mengawang dan mengudara sendiri dengan dunianya, sehingga melupakan kodrat dan kewajiban sebagai seorang manusia, dan lelaki.

Reitman yang mengerjakan naskah bersama Sheldon Turner yang juga mengadaptasi novel karangan Walter Kirn, sangat berhasil dalam membuat film ini menjadi sangat pintar. Reitman menyiasati ke-indie-annya dengan penyutradaraan yang indah. Dan juga Reitman berhasil menopengi kepedihan dan kesepian hati Ryan Bingham lewat kehidupan parlente dan flamboyannya. Diceritakan bagaimana Bingham harus belajar bertoleransi lewat pekerjaannya, mendapat pencerahan lewat pekerjaannya, menemukan makna cinta lewat pekerjaannya. Ryan belajar untuk tidak selalu merendahkan orang lain lewat perkataannya. Ryan juga belajar betapa pentingnya hidup membaur dengan sesama. Lihat saja betapa hinanya dia saat ditolak sang adik untuk menjadi pendamping pernikahannya. Betapa sakitnya hati Bingham saat sang kakak berkata jika Bingham seperti bukan bagian dari keluarga.

George Clooney sukses melebur ke aura Ryan Bingham. Kemiringan pemikirannya dijabani dengan sangat lihai. Setali tiga uang dengan penampilan mengejutkan dari Anna Kendrick. Aktris dari franchise Twilight ini memberikan akting yang kuat dalam meladeni Clooney berargumen. Ketidakpuasan akan pekerjannya dilihatkan dengan sangat pedih. Penampilan ayu juga datang dari Vera Farmiga sebagai wanita paruh baya yang masih doyan akan kehidupan glamor. Jadi, untuk masalah akting, mereka sudah memberikan yang terbaik, tak salah jika nominasi Oscar mereka dapatkan.

Up in the Air memang bukan tipe yang mudah dinikmati oleh setiap penonton. Karena dengan gerak lambat, memang sedikit membosankan bagi beberapa orang. Tapi menurut saya pribadi, film ini jelas memiliki daya pikat yang tak hanya lewat jalinan cerita, akting serta musik, tapi juga menjabarkan kepongahan manusia yang sering bebas mengudara dan lupa untuk kembali mendarat. Untung saja, pekerjaan ini tidak umum bagi negara Indonesia. Jikalau pun ada, yah sudah, makin banyak saja orang sombong di dunia ini. HIGHLY RECOMMENDED!!! Happy watching!

by: Aditya Saputra

The Other Boleyn Girl (2008)

Director : Justin Chadwick
Cast : Natalie Portman, Scarlett Johansson, Eric Bana, Jim Sturgess, Kristin Scott-Thomas
Rate :3/5


Musuh utama setiap manusia adalah egonya sendiri. Manusia diberi kekuatan dalam mengatur tempramental dan kehendak hati agar tidak melencengkan norma dan moral secara bersamaan. Tapi kadang, jika iming-iming hidup enak, harta melimpah, serta jabatan dan strata yang tinggi di depan mata, egosentris malah dijadikan batu loncatan untuk menggapai itu semua. Sekalipun harus mengorbankan harga diri, orang yang dicintai, dan simbiotik kehidupan. The Other Boleyn Girl berisikan kalimat-kalimat yang saya jabarkan di atas. Sebuah karya dari Justin Chadwick yang sebelumnya hanya berkutat di area pertelevisian. Menggunakan setting peradaban kolonialisme Inggris, Boleyn Girl jadi sebuah drama epik penggedor moralitas.

Raja Inggris yang gagal punya anak laki-laki memilih gadis dari klan Boleyn, sebut saja Scarlett. Ternyata, sang Raja melakukan intrik personal kepada saudara Scarlett yaitu Natalie. Ketika Natalie mulai tidak sadar situasi, yang ada dia terbalik disepelekan kondisi. Murka akan perbuatan sang istri ketiga, sang raja melakukan sebuah penghukuman setimpal akan itu semua.
Peter Morgan selaku penulis naskah cukup sukses dalam menjelaskan kehidupan keistanaan Inggris di tengah perang bilateral. Sang sutradarapun memanfaatkannya dengan menjamu penonton lewat tampilan artistik dan penuh emosi. Sajian kostum dan set dekorasi sesuai jamannya juga terbilang pas. Mungkin yang kurang adalah alunan musik yang serasa sepi dalam menyelaraskan adegannya.

The Other Boleyn Girl
dibantu permainan ektra gemilang dari seorang Natalie Portman. Betapa Natalie menampilkan gerak akting yang ampuh dalam bersenyawa dengan pemain lain. Berkat Natalie, Scarlett Johansson serta Eric Bana yang kurang menonjol menjadi enak ditonton. Intrik antar keduanya jadi lebih fokus dan intens saat Natalie menonjolkan bakat aktingnya. Natalie deserved for Oscar, she's totally switching me by her hilarious act.


Boleyn juga menceritakan sekelumit asal muasal kelahiran Ratu Elizabeth. Di samping itu, penonton juga bisa tau tentang pengeksekusian tanpa belas kasih tatkala civil istana melakukan kesalahan. Dan tentang kebiadaban manusia dalam menggapai harapan dan ambisinya. Boleyn juga memaparkan jika kehidupan istana juga tidak mutlak menjanjikan kebahagiaan murni untuk kaum wanita. Raja adalah eksekutor, dan segala perintah tetap berada di bawah naungan seorang petinggi.


Jika Anda membutuhkan film historikal penuh drama dan intrik, Boleyn Girl bisa dijadikan alternatif. Mungkin dari film ini, kita bisa mengambil pembelajaran penting agar tidak terlalu ambisius dalam mengejar harapan. Apalagi sampai harus merelakan harkat dan martabat. Tapi, jangan berharap banyak akan penggodokan karakter. Karena menurut saya, selain Natalie Portman, perwatakan tokoh yang lainnya kurang terjalin dengan maksimal. Lain kasus jika Anda memang pemuja trio Natalie Portman, Scarlet Johansson ataupun Eric Bana. Happy watching!

The Hours (2002)

Director : Stephen Daldry
Cast : Nicole Kidman, Julianne Moore, Meryl Streep, Ed Harris, John C. Reilly, Miranda Richardson, Toni Collette
Rate : 4/5


Ini adalah sebuah film motivasi yang mengambil sudut pandang dari 3 wanita berlainan masa, tempat, dan takdir. Tapi ketiga kaum feminis ini berada pada kesamaan obsesi, latar belakang, dan kecenderungan sensitivitas terhadap lingkungan mereka. The Hours memang menerangkan tentang Virginia Woolf, Laura Brown, dan Clarissa Vaughan yang sangat tersita waktunya oleh sebuah novel Mrs. Dolloway. Pencetusnya, Stephen Daldry di bawah naungan Scott Rudin memang berhasil membuat prosa kejam ke daerah estrogen yang lebih dalam.

Masa pertama (1941), ketika Virginia Woolf menghabiskan waktu untuk karya sastranya hingga harus mengindahkan suaminya. Parahnya, Woolf hilang kendali dan hidup dalam dunianya sendiri. Masa kedua (1951), Laura Brown yang merasa dirinya kosong dan tidak menerima dengan kehidupan normalnya. Masa ketiga (2001), Clarissa Vaughan yang harus menyeimbangkan antara pribadi, mantan suaminya, dan kehidupan anaknya yang tak sejalan dengan apa yang dipikirkannya. Ketiga waktu ini berhubungan erat, dan berkesinambungan satu sama lain. Visi dan misi setiap karakternya ternyata berujung pada ending yang kurang beruntung.


Kekuatan utama The Hours terletak pada penceritaannya yang kuat. Diangkat dari novel karangan Michael Cunningham, scriptwriter David Hare berhasil mengadaptasinya dengan oke. Dan Stephen Daldry menyempurnakannya lewat pantauan dan arahannya yang sangat gemilang. Daldry mampu mengarahkan para bintang papan atas untuk bermain prima, menyelaraskan masa ke masa dengan tetap dalam satu lini. Kejutan ekstra datang dari komposisi musiknya yang mendukung adegan, serta editing yang cukup enak dinikmati.


Tampilan awal The Hours sungguh unik. Ketiga wanita utama diperlihatkan melakukan aktivitas yang sama, kebohongan yang sama, suicidal obsess yang sama, gejolak batin yang sama. Ketiganya juga mengalami apa yang disebut rasa bersalah. Klimaks yang menjelaskan segala dominasi freedom chaos. Pintarnya, The Hours tidak terjebak dalam film melankolis penuh dramatisir. Karena bagaimanapun keterpurukan mereka bertiga, tetap saja diperlihatkan secara tegar. Kendati kepahitan tidak bisa dibantah.


Nicole Kidman di penampilan terbaiknya memang berhasil meluapkan segala emosinya untuk peran ini. Muka cekung serta kekuatan aktingnya terlihat sempurna. Hingga tak salah jika kategori Best Actress in Leading Role berhasil ia renggut di Oscar 2003 lalu. Begitupun dengan Julianne Moore yang sukses membuat saya bergidik dengan cara dia memandang. Meryl Streep dengan pesona lembutnya juga tak bisa ditepis, porsinya dilahap dengan maksimal. Sedangkan untuk Ed Harris, performanya sudah optimal dan cukup layak diganjar sebuat Oscar. Sederetan akting hebat inilah yang membuat The Hours menjadi sangat layak tonton. Satu lagi, masalah yang cukup kuat yang diperlihatkan di sini adalah bagaimana penyimpangan seks itu akan berdampak buruk jikalau kita meluapkannya dengan tidak hati-hati.


Kesimpulannya, Stephen Daldry disokong akting solid dalam mengejewantahkan The Hours. Dan The Hours juga sangat pas dalam mengimplementasikan kemawasan diri dalam membentengi kebebasan hati agar tidak terpeleset ke arah yang salah. The Hours juga membuktikan jika kekuatan cinta itu memang kadang cukup membantu dalam menjalani hidup. The Hours is a good reason why i love more Julianne Moore, the reason i give standing ovation to Nicole Kidman, and the reason why Meryl Streep is the most astonishing actress ever. Highly recommended!

Sabtu, 25 September 2010

Be Kind Rewind (2008)

Director : Michel Gondry
Cast : Jack Black, Mos Def, Danny Glover, Mia Farrow
Rate : 3,5/5


Orang yang membuat Be Kind Rewind adalah manusia yang sama yang mensutradarai Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Jangan dulu praduga yang berlebihan, film ini tidak serumit maupun seromantis film yang dibintangi Jim Carey tersebut. Be Kind Rewind hadir dengan naskah ditulis Michel Gondry sendiri yang memiliki cerita tak kalah uniknya namun dibalut dengan komedi segar. Seakan jitu dalam menebak, akhirnya Gondry merekrut Jack Black untuk menjadi tokoh utama sekaligus menjadi partner konyol Mos Def. Dan belum apa-apa, saya sangat merekomendasikan untuk Anda sekalian jika membutuhkan sebuah film yang bisa membuat Anda tertawa nyaring sertaemosi meluap-luap (yah, tidak seperti itu juga) di tengah-tengah cerita.

Diceritakan Mos Def diberi amanat untuk menjaga sebuah perentalan film oleh Danny Glover. Mos Def juga disarankan untuk menjauhkan efek buruk Jack Black dari tempat rental tersebut. Ternyata, pada suatu perencanaan, Jack Black terkena suatu radiasi listrik yang membuat dirinya memiliki kekuatan magnet dan merusak seluruh video di rental tersebut. Untuk mengakalinya, Black bersekongkol dengan Mos untuk mereka ulang semua adegan film yang rusak oleh Black tadi. Sialnya, mereka juga harus meladeni aparat setempat yang berniat menghancurkan wilayah tersebut. Tidak lagi berdua, bertiga, dan berempat, kali ini yang membuat 'film' adalah seluruh masyarakat yang juga bersumbangsig atas tokoh sosial setempat.

Naskah filmnya sendiri sudah sangat kuat untuk menjadi sebuah film bagus. Dan, tidak sulit bagi Gondry untuk mengadaptasi skrip tersebut ke dalam gambar bergerak. Gaya khas indie yang ia tuangkan ke film ini juga cukup membantu dalam bersifat tunggal dalam cerita tapi bermajemuk dalam hal karakterisasi. Betapa kita diperlihatkan tingkah pola berbagai tokoh yang unik, beda, sekaligus lucu. Gondry pun tidak serta merta meramu Be Kind Rewind layaknya komedi slapstick, karena seluruh joke di film ini boleh dibilang renyah dan cukup orisinil. Kemampuan Jack Black dalam melucu juga tidak usah diperdebatkan. Ia mampu memberikan semangat komediknya dan tidak membuat kecewa penonton. Ketakjuban saya bertambah saat saya melihat parodi adegan-adegan film-film yang dimainkan di sini. Sungguh berani, brilian tapi juga tidak patut dicontoh.

Tidak patut dicontoh? Inilah salah satu kehebatan Gondry dalam menyelipkan sentilan kepada penontonnya. Upaya kedua tokoh untuk menyelamatkan diri dengan 'merevisi' ulang film-film tersebut sangat tepat sasaran. Saya mengasumsikannya jika kita dilarang keras untuk menjunjung tinggi plagiatisme. Diharamkan untuk mencontek, dan segala sesuatu yang berhubungan tentang perusak karya seni seseorang. Tapi sayangnya, ending film ini terasa agak berlebihan dengan memakai flashback tunggal dari seorang tokoh lokal. Yah, memang pengeksekusiannya dibuat dengan sangat apik, tapi jika lebih menggunakan sub-tema lain saya rasa akan semakin menyempurnakan film ini. Dan lagi, ending film ini dibuat terbuka, dengan alasan biar penonton sendiri yang menebak bagaimana ujungnya.

Kesimpulannya, Be Kind Rewind jelas sebuah tontonan beda dan segar dan keluar dari pakem komedi yang ada. Tidak sukar untuk menghakimini film ini sebagai produk yang berhasil memanjakan urat geli penontonnya. Tapi harap dimaklumi jika ada beberapa bagian yang merudak kenikmatan menonton. Tapi percayalah, sebuah cerita ringan jika di tangan seorang berbakat semisal Michel Gondry ini, akan menjadi sebuah film yang jenius tanpa harus meninggalakan idealisme sebagai seorang seniman. Selamat menonton!

Jumat, 24 September 2010

Blindness (2008)

Director : Fernando Meirelles
Cast : Julianne Moore, Gael Garcia Bernal, Mark Ruffalo, Alice Braga, Danny Glover
Rate : 3/5


Berawal di sebuah jalan raya, seorang lelaki Jepang mengalami kebutaan mendadak yang menyebabkan traffic jam di kawasan tersebut. Naas, ia ditipu pedestrian lain yang mencuri mobilnya. Setelah itu, berturut-turut masyarakat sekitar mengalami kebutaan yang sama. Kebutaan oleh sebuah epidemik yang menyebabkan penderitanya hanya bisa melihat warna putih di depan lensanya. Singkatnya, seorang dokter dan istrinya (sedikit dari yang memiliki kekebalan) serta seluruh pesakitan dikarantina di suatu kamp. Di sana terlihat bagaimana keegoisan pribadi yang memecahbelah mereka menjadi dua kubu berlainan emosi. Kekejeman, kebrutalan serta kemaksiatan dari kubu tercela memonopolinya.

Film ini sukses membuat emosi saya teraduk-aduk. Awal film, saya telah dibuat bingung dan bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi, pertengahan film merasa cemas tentang apa yang yang sedang mereka hadapi, menit berikutnya merasa jijik dan kesal ketika egosentris kembali menjamur. Berarti, saya nilai Fernando Meirelles selaku sutradara sudah cukup berhasil dalam mengolah adonan naskah menjadi sebuah film yang penuh liku dan berjuta tensi emosi untuk penontonnya. Sorotan-sorotan kamera gelap yang ditangkap justru menunjang kebiadaban korban isolasi. Di sinipun kita bisa tau tentang kesetiaan penuh dari seorang istri kepada sang suami meski terjadi hal sepahitpun di matanya. Terlihat jelas, bagaimana para manusia mengeluarkan semua amarah, menyepelekan mutualisme dan menjadi parasit jika harus berada di posisi yang mengharuskan seperti itu.

Meirelles memang lebih menekankan kepada psikologis karakter (dan penonton) seperti halnya yang terjadi di novelnya (teman saya bilang, novelnya memang lebih ke arah tersebut). Jadi harap maklum jika ada beberapa hal yang masih membuat otak kita bertanya-tanya meski tombol stop pada remote sudah kita pencet. Blindness juga menggunakan teknik sama seperti 28 Days Later ataupun I am Legend, bedanya Blindness tidak memfokuskan tentang zombie ataupun vampire. Maksud saya, Blindness menyajikan kekosongan kota yang hanya diisi segerombolan manusia kurang beruntung. Tapi uniknya, mereka merasa bersih, tenang dan suci ketika hujan mengguyuri kota tak bernama tersebut.

Penampilan dari Julianne Moore, Mark Ruffalo, Gael Garcia Bernal serta Alice Braga bisa berkompilasi membentuk satu-kesatuan aktig yang berkesinambungan. Tidak ada rasa ingin menonjol sendiri, terutama Moore yang berbesar hati untuk tidak tamak, kendati penampilannya yang paling banyak disorot.

Tapi sayangnya, Blindness masih sering terjadi kesalahan teknis terutama dan yang paling fatal adalah jika istri dokter tersebut masih memiliki akal sehat, sudah jelas dengan ketidakbutaannya bisa saja ia langsung menindas tindak asusila di kamp tersebut. Apa Meirelles kurang berani dalam mengeksekusi hal tersebut? Entahlah, tapi yang pasti Blindess cukup apik diramu sedemikian rupa untuk menjadi karya yang layak tonton. Berbeda dengan karya Fernando sebelumnya yang mengutarakan intrik yang begitu sulit diikuti di The Constant Gardener, di sini konflik yang terjadi masih lumrah dan tidak terkesan berlebihan. Meirelles juga sukses mengupah komposer musiknya untuk memberi sentuhan berani, mistis dan menegangkan sepanjang film.

Silahkan berkaca lewat film ini? Jika saya (dan Anda semua) berada di suatu tempat yang tak tau di mana dan mengidap suatu penyakit massal, apa yang akan dilakukan? Berserah diri atau pasrah atau bunuh diri, bermutualisme dengan korban lain, berotoriter tak kunjung selesai atau mencoba mencari kebenaran atas segala sesuatunya? Blindness berhasil memberi gambaran atas semua itu.

Kamis, 23 September 2010

Dead Poets Society (1989)

Director : Peter Weir
Cast : Robin Williams, Ethan Hawke, Robert Shawn Leonard, Josh Charles
Rate : 4,5/5


Seorang guru yang baik adalah guru yang mampu menghantarkan muridnya ke gerbang kemandirian dan ilmu pengetahuan bukan hanya lewat kurikulum berbasis dari sekolah. Melainkan dengan cara yang relevan dengan usia dan kebebasan yang berhak didapatkan para siswa. Ada banyak cara untuk mencapai hal tersebut, dan kadangkala kekonyolan berpendidikan itu seringkali dicap mencoreng nama sekolah atau bahkan melenceng dari apa yang seharusnya diajarkan. Tapi, dengan segala kewibawaanya, ilmu tak tertulis dari seorang guru bahkan jauh lebih melekat lama di benak kita karena diberikan dengan rasa ikhlas dan semangat pengabdian diri.

Film Dead Poets Society adalah sebuah film yang menceritakan dedikasi seorang guru literatur, John Keating, yang mengajar dengan gayanya sendiri. Di sekolah dengan kukungan bak prisonir, Keating membuka jendela wawasan manusiawi tanpa patokan jabaran buku. Di kelasnya, bahkan seorang yang minder pun berhasil ia luluhkan berkat kecerdasannya melebur kepada murid. 7 siswa angkatan baru menemukan sebuah goa pribadi bertajuk Dead Poet's Society, suatu perkumpulan lama yang sekarang dilarang keras oleh pemimpin sekolah. Di sana, mereka bisa bebas berkreasi, bebas mengungkapkan segala rasa : kekesalan, cinta, harapan bahkan cita-cita. Ternyata, secara pribadi anggota tersebut mempunyai masalah masing-masing yang sangat mendilemakan hati. Hingga pada suatu keadaan yang membuat para anggota harus memilih mana yang harus dikorbankan, meski rasa ikhlas masih membayangi mereka.

Yang spesial dari film ini adalah skrip luar biasa yang berhasil menyajikan sebuah cerita non-klise yang sanggup memborbardir hati penonton. Dialog-dialog berkualitas, humor yang menggelitik serta puisi-puisi indah berhasil dirapatkan dengan sempurna. Pun penuturan dari sutradara Peter Weir yang mengolah naskahnya menjadi sebuah film yang bersarat makna pendidikan, harapan serta konjugasi umat manusia. Peter tahu betul dalam mengangkap angel-angel bagus untuk setiap adegannya. Shoot-shoot indah meski hanya di latar sempit juga semakin memperkaya film ini. Sedangkan untuk pemeran John Keating sendiri, Robin Williams, permainannya di sini sungguh menakjubkan. Dia hanya kebagian beberapa puluh menit, tapi perhatian penonton tak akan pernah lepas dari sosok brilian satu ini. Robin berhasil menunjukkan kepiawaan aktingnya sebagai guru yang bersahaja tapi dalam satu sisi berhasil memberikan gambaran suri tauladan yang menyenangkan. Untuk cast para siswa, mereka masih minim talenta, tapi jelas tidak mengganggu jalan cerita yang ada.

Dead Poets Society sukses menjadi sebuah film yang inspiratif dan edukatif. Society tidak berupaya menjadi sebuah guru yang mengajarkan penonton untuk membenarkan sajian film ini, Society hanya menggambarkan dengan lugasnya sifat otoriter yang mengharuskan bawahannya menuruti segala kehendakanya. Bahkan mereka sendiri tidak tau, apa yang diinginkan si bawahan untuk menggapai kebahagian. Itulah sentilan lain yang sangat menohok.

Sepertinya film ini adalah seni wajib yang harus ditonton para guru sedunia. Bagaimana mengajar tanpa kemonotonan, cara mengajar yang disukai siswa, dan cara belajar yang menimbulkan banya arti. Niscaya, keberanian siswa akan timbul dengan sendirinya dengan mencoba aktif dalam serangkaian kurikulum sekolah.

My verdict : Film ini sangat layak tonton, atau bahkan sangat harus ditonton. Bukan saja dipenuhi dnegan cerita yang apik dan akting yang solid dan para pemainnya, tapi film ini juga bisa menebarkan benih kesopanan diri dalam menempuh ilmu serta bibit untuk berani bertindak dalam kebenaran dan mencapai destinasi dan cita-cita. Terakhir, betapapun guru itu sosok yang menakutkan dalam tampilan luar, percayalah, ada ruang di hatinya yang mencerminkan keteladanan para siswa. Selamat menonton!

Senin, 20 September 2010

I'm Not There (2007)

Director : Todd Haynes
Cast : Cate Blachett, Richard Gere, Christian Bale, Heath Ledger, Michelle Williams, Julianne Moore
Rate : 3,5/5


Apa jadinya jika sebuah biopik tanpa ada replika sang tokoh yang diangkat di dalamnya? Sedikit mengecewakan atau bagaimana? Menurut saya aneh, tapi jadinya unik jika keseharian sang tokoh malah diwakili oleh beberapa tokoh yang mengarungi perjalanan monumental sang tokoh tersebut. I'm Not There memakai pola tersebut untuk menjelaskan karir besar dari seorang pemusik legendaris, Bob Dylan. So, who's the fantastic Bob Dylan? Bob adalah seorang penyanyi, penulis, serta penyair kebanggaan Amerika yang sumbangsihnya hampir menyamai kedigdayaan seorang Bruce Springsteen. Sang sutradara merasa sudah sepatutnya mengangkat hidup Bob Dylan dalam sajian gambar bergerak dan inilah hasilnya.

I'm Not There secara personal memperkenalkan sosok Bob lewat beberapa tokoh yang dimulai dari seorang anak kecil hobi berdendang yang berkelana mencar arti musik dan hidup sebenarnya. Penemuan akar folkor Amerika dalam sesi Richard Gere. Puncak karir dalam raga Christian Bale, Kebimbangan massa kritis Amerika yang dipertontonkan dengan sangat perih melalui Heath Ledger. Dan yang paling emosional dan berjiwa adalah bagian ketika Bob bersikukuh dalam merubah jalur blues-nya menjadi rock yang diperankan oleh Cate Blanchett.

Cate Blanchett? Yes, she is. Saya bahkan merasa terpaku melihat tingkah laku dan gerak akting dari seorang Blanchett dalam memperagakan Bob Dylan dengan sangat natural dan bersemangat. Suara, body language serta keditelan make-up yang berhasil menyempurnakannya. Sehingga permainan awal dari Marcus, Chris Bale, Ledger seakan terlupakan walau masih cukup enak dinikmati. Richard Gere bermain cukup beda, dengan berewok dan kelusuhannya malah memberikan kesan unik dari perjalanan sang tokoh. Dan bantuan akting lain seperti misal dari Michelle Williams, Julianne Moore dan Charlotte Gainsbourg hanya sekedar pengisi tokoh dari sang penulis.

Sepanjang film berlangsung kita juga diperdengarkan beberapa lagu superior hasil karya Bob Dylan. Nomor-nomor seperti All Along the Watchtower, I'm not There, Ballad of a Thin Man memang masih indah dengan aransemen ulang dari musisinya. Tapi sayangnya, ada beberapa adegan bernyanyi yang tidak menggunakan suara asli aktor yang memberikan kesan jika sang aktor tersebut kurang menjiwai karakternya. Cukup disayangkan. Seperti Balchett yang sudan bermain hebat, tetap saja kurang istimewa karena ia hanya lip-sync. Satu hal lain ialah sinematografi film yang kurang menggabungkan beberapa landscape indah untuk mengimbangi filmnya sendiri.

I'm Not There memang sebuah biopik singkat dari seorang legenda musik dunia. Dengan tampilannya yang tak biasa serta akting yang bagus dari para pemainnya, membuat film ini patut tonton. Tapi sayang sekali, beberapa kekurangannya malah semakin memberatkan I'm Not There sebagai karya yang istimewa apalagi sangat spesial. At least, now we know who Bob Dylan is. And, music isn't only a thing, but also an art that had a soul inside of it.

Funny Games (2007)

Director : Michael Haneke
Cast : Naomi Watts, Tim Roth, Michael Pitt, Bradey Cobert
Rate : 4/5


It's not a movie about a funny games. It's a movie about how two funny boys join a family to play a game. A bloodcurdling game.

Betapa saya dibuat terkejut, deg-deg-an, cemas, emosi hingga harus ketakutan kala menonton film ini. Funny Games jelas tidak selucu judulnya, karena film ini menyajikan suatu thriller yang berbeda dan sangat intim. Mengajak penonton untuk merasakan apa yang para tokohnya alami, membimbing penonton untuk mengitari ruang lingkup permainan aneh yang direka oleh para tokohnya, dan menstimulasi penonton agar tetap berdiam di depan layar sekalipun banyak adegan kosong sepanjang film ini. Michael Haneke membuat-ulang film ini dari karyanya sendiri berjudul sama tahun 1997. Semula, apa yang dilakukan Haneke sungguh di luar logika, tapi setelah melihat hasil akhirnya ternyata kiat Haneke cukup beralasan. Ini film khas Hollywood tanpa melecehkan kekhasan Haneke dalam menciptakan sebuah masterpiece.

Ceritanya memang tradisional jika tak mau dibilang biasa, tapi garapannya lah yang membuat film ini menjadi luar biasa. Haneke memang mengaduk emosi penonton tepat setelah salah satu bujangan parlente mengusik rumah tangga George Farber. Keadaan semakin berkecambuk ketika anak muda tak waras satu lagi datang dan mulai menghantui kehidupan George. Sepak terjang kedua pria ini sangat di luar kendali. Mereka menggunakan mimik untuk menghipnotis korbannya (dan penonton) agar merasa iba namun melepas topeng mereka saat adegan kriminalitas mereka lakukan.

Seringkali Haneke memperlihatkan adegan-adegan panjang yang cukup jitu untuk menyampaikan langsung gundah-gulana sangat tokoh. Detail-detail yang diperlihatkan di awal-awal film yang semula saya perkirakan akan menjadi kartu as malah dilencengkan oleh si sutradara agar kesan dramatis semakin menggila. Belum lagi ketika adegan me-rewind diri. Dari sana seakan diperlihatkan alangkah egoisnya psikopat di film ini. Permainan akting yang apik juga diperlihatkan oleh para aktornya. Naomi Watts dan Tim Roth yang sebagai pasutri sudah memberikan air muka terbaiknya. Saya bisa merasakan kepedihan yang amat sangat dari mereka. Begitupun Michael Pitt dan pasangan buasnya, Brady Corbet, yang dengan cerdas memainkan mimik lucu dan inosen menjadi sebuah tampilan sangar. Lengkap sudah.

Haneke lebih bermain dalam teritori karakterisasi daripada harus menggunakan setting yang berlebihan. Percaya atau tidak, film bagus ini hampir keseluruhan hanya menggunakan latar sempit yang semakin mengukuhkan ketidakleluasanya para korban di film ini. Bahkan, Haneke juga tidak menambah alunan musik. Kendati begitu, kita cukup merasakan erangan, tangisan, jeritan serta luapan lainnya dari beberapa adegan sadis di film ini. Mengganggu, namun menyenangkan untuk diikuti.

Para sineas lain harus mengakui jika Funny Games berhasil memainkan emosi penonton dengan sebuah sajian jenius tanpa harus ada efek berlebihan dan budget yang megalomia. Tidak perlu bersusah payah meminta bantuan dentuman musik, Funny Games telah mengajarkan untuk lebih bermain dalam hal karakter dan tensi penonton. Sangat direkomendasikan jika Anda memang pecinta sebuah film dengan tingkat kemiskinan moral yang sangat tinggi.

Jumat, 17 September 2010

Memento (2000)

Director : Christopher Nolan
Cast : Guy Pearce, Carrie Anne-Moss, Joe Pantoliano
Rate : 4/5


Seorang sutradara yang bisa dianggap brilian adalah jika sutradara itu bisa mengangkat ide unik menjadi sebuah sajian memikat dan bermutu. Lagi, jika ia mampu membuat teknik unik di setiap filmnya dan mengajak penonton untuk serta-merta merasakan kedahsyatan teknik tersebut. Tanpa maksud menyanjung berlebihan, Christopher Nolan saya cap sebagai salah satu sutradara muda yang memiliki kriteria yang seperti saya jabarkan di atas. Selain karena selalu memberikan suguhan yang mumpuni, Nolan juga mampu memberikan kesan kepada penonton di setiap feature-nya. Setelah saya menonton new form dari seorang Batman di Batman Begins dan The Dark Knight serta keanggunan zero gravity di Inception, Memento seperti sebuah karya yang mengawali kejeniusannya.

Disadur dari tulisan pendek adiknya sendiri, Jonathan Nolan, Chris Nolan menulis naskahnya sendiri menjadi sebuah skrip untuk film panjang yang tampilannya tak biasa. Kenapa tak biasa? Karena Memento memang menggunakan sistem terbalik, opening film adalah ending, begitupun sebaliknya. Teori yang kedengarannya rumit ternyata memang rumit jika kita sebagai penonton tidak menggunakan konsentrasi tinggi. Alhasil, jika penonton fokus terhadap jalinan cerita bukan tidak mungkin penonton akhirnya akan memuja film ini. Tidak disarankan untuk me-rewind adegan karena menurut saya itu hanya akan menimbulkan kebingungan. Ikuti apa yang dijabarkan Nolan lewat tokoh utama prianya, lepas itu, terkejutlah kita.

Nolan mengajak Guy Pearce sebagai pelakon dan kambing hitam atas karyanya ini. Guy sebagai pria yang harus mengungkit sebuah kejadian yang berhubungan dengan seorang wanita dan ditemani oleh seorang pria yang tak diketahui latar belakangnya. Ditambah lagi Leonard (sang tokoh utama) mengalami amnesia rendah yang menyebabkannya harus benar-benar menyadari apa yang sedang dihadapinya.

Sekali lagi, Nolan membentuk filmnya ini secara terbalik. Terdapat adegan personal di sela-sela adegan flashback-nya. Dari sana kita juga bisa mengerti apa yang dikehendaki Leonard yang menggaransikan nyawanya untuk semua itu. Short-term memory yang dideritanya memang menjadi mindset yang mampu mengajak penonton berfikir lebih jauh.

Memento pun memberikan sebuah twist yang berhasil mengejutkan saya walaupun tidak serta merta sangat spesial. Dan juga Memento masih memeliki kesimpang-siuran dalam menerjemahkan short-term memory itu sendiri. Lepas dari itu semua, Memento pantas disebut sebagai film yang pakem dari sisi cerita dan penggarapan yang spesial. Dan lagi, Memento juga bisa mendefinisikan sebuah kecaman hidup yang akan terjadi jika kita terus bermain dalam kokosongan logika. Keren dan juga sangat direkomendasikan.

Amelie (2001)

Director : Jean-Pierre Jeunet
Cast : Audrey Tautou, Mathieu Kassovitz
Rate : 4/5


Amelie adalah sebuah paket film yang memiliki segalanya yang penonton harapkan. Keanggunan dari tokoh utama, keunikan cerita, sinematografi yang cantik, akting yang natural serta pembelajaran yang sangat realistis. Buah karya Jean-Pierre Jeunet ini memang bukan sekedar pembawa senyum belaka, tetapi juga mengajarkan bagaimana cara menghadapi hidup dan pentingnya bersosialisasi dan fungsi utama diri kita sebagai jembatan yang menguntungkan berbagai pihak, khusunya orang sekitar.

Amelie menceritakan seorang gadis aktif, ceria sekaligus baik hati yang menjelajahi tatanan kota Perancis dengan segala kerendah-hatiannya. Suatu hari ia kedapatan sebuah album yang mengantarkannya bertemu sang pujaan hati. Tentu saja ia tidak begitu saja bertatapan muka, gay Amelie yang lucu sekaligus pemalu menjadi alasan kuat perjalanan cintanya menjadi sedikit berliku namun seru. Amelie dikelilingi manusia-manusia dengan beragam karakter yang menyebabkan Amelie menjadi lebih membuka lebar tentang pandangannya akan sebuah kehidupan.

Di awal film kita akan diperlihatkan serangkaian kebiasaan Amelie sejak dini serta pola hidup keluarganya yang over-protective kepada dirinya. Mungkin dari kukungan itu pula yang membentuk karakter Amelie menjadi begitu antisipasi terhadap hidupnya kelak. Dari sinipun kita bisa mempelajari sesuatu : Kekuatan orang tua dalam mendidik memang tidak seharusnya berdampak negatif, tinggal lingkungan yang membimbing karakternya. Tapi itu hanya sebagian kecil, Amelie lebih mengajak penonton untuk melakukan segala perbuatan positif. Untuk kepuasan batin, kepuasan mutualime yang tak bisa dibayar uang. Dan yang membuat kesempurnaan ini adalah permainan emosional dari seorang Audrey Tautou. Betapa Tautou menjelma menjadi gadis yang selalu memanah hati sekelilingnya (dan penonton) dengan senyum mautnya. Dan betapa Tautou bisa bertransformasi tanpa cacat baik saat sedang riang gembira, sedih berkepanjangan sampai ketika cinta mulai mengaduk-ngaduk hatinya. Tautou memang layaknya Sally Hawkins di Happy-Go-Lucky yang bermain di wahananya sendiri tanap lupa jika penonton sedang menyaksikannya. Para pendamping Audrey di sini bermain tidak mengecewakan, dan Audrey pun tak enggan berbagi frame dengan mereka. Sehingga, chemistry satu sama lain terjalin erat tanpa ada pemaksaan adegan.

Sinematografi film ini harus dipuji setinggi agung, karena berhasil merangkai gambar-gambar indah yang semakin mencerminkan sikap tauladan dari seorang Amelie. Dan Delbonnel juga piawai menangkap view-view segar dari pelataran negara Perancis yang sedap dipandang bin artistik. Naskah yang mumpuni juga sangat mempengaruhi perkembangan ceritanya sendiri. Banyak humor yang berhasil ditangkap karena sajian visual pemainnya yang mampu mengadaptasi skripnya. Dan itu menyenangkan sekali.

Begitulah ulasan saya tentang si cantik Amelie ini. Hidup dalam membahagiakan orang lain tentu akan menjadi tolak ukur bagaimana hati kita juga ikut terbawa kebahagiaan. Apalagi jika itu tanpa adanya rasa pamrih. Amelie tidak sekonyong-konyongnya yang mengharapkan imbalan, karena dirinyapun masih membutuhkan orang lain untuk menyempurnakan hidupnya. Dan itulah yang membuat film ini sangat menjadi wajib tonton karena mampu menyelaraskan pesan moral dengan sajian seluloid yang tak akan lekang dimakan jaman. Highly recommended!!!

Selasa, 14 September 2010

Duplicity (2009)

Director : Tony Gilroy
Cast : Clive Owen, Julia Roberts, Tom Wilkinson, Paul Giamatti
Rate : 3/5


Well, jika harus melihat arti singular dari kata 'duplicity' maka kita akan mendapatkan hasil 'sikap/perbuatan bermuka dua'. Dan, Duplicity sendiri memang menjelaskan makna tersebut untuk kedua tokoh utamanya yang saling berkonfrontasi satu sama lain. Clive Owen dan Julia Roberts adalah Ray Coval dan Claire Stenwick yang masing-masing bekerja untuk MI6 dan CIA. Mereka yang semula beradu ide dan taktik nyatanya mesti bekerja sama untuk membungkam pihak musuh yang sudah kadung mengeluarkan suatu rencana. Betapa mengherankan ketika mereka harus saling nyikut dan dalam waktu bersamaan benih asmara timbul seketika. Yang patut diwaspadai adalah ketika mereka berdua harus menerima nasib jika dewi fortuna tidak selalu menemani mereka hingga ending berkata lain.

Tony Gilroy, sutradara pemula yang baru menelurkan 2 film : Michael Clayton yang luar biasa memikat dan satu ini. Kekuatan cerita yang ditulisnya memang menjadi magnet bagaimana mengkoordinir aktornya untuk bermain bagus. Sayangnya, Tony seperti kehilangan arah saat memandu dua aktor kaliber Oscar dalam rekaannya kali ini. Duplicity di tangan Tony seperti hanya sebuah film yang cukup sekali tonton. Tidak ada adegan yang benar-benar membekas di benak penonton. Malah kasarnya, banyak adegan yang kurang penting sepanjang film. Tapi Gilroy masih memiliki majis lain saat mengeksekusi ending-nya yang cukup mengejutkan dan berbumbu twist.

Perombakan yang kurang mendasar adalah dari sisi cerita yang terkesan pragmatis tapi tidak menimbulkan konflik yang pelik. Segala sesuatunya dipermudah tanpa harus diberatkan dengan meningkatkan tensi. Seperti saat adegan Julia harus mem-back-up sebuah data, malah terkesan buru-buru. Mungkin Tony ingin bermain layaknya Clayton yang tak bertele-tele. Sayangnya, Owen bukan Clooney dan Roberts bukanlah Swinton. Keadaan kedua film itupun berbeda meski genre-nya tetap di satu lini. Perjalanan romansa antara Claire dan Ray juga dibiaskan dan tidak romantis sama sekali.

Itulah yang menyebabkan permainan Clive Owen dan Julia Roberts jadi ala kadarnya. Kualitas Oscar mereka patut dipertanyakan ketika tidak berhasilnya mereka menuntun penonton keluar dari lembah kebosanan. Dan ajaibnya, Roberts sempat menerima nominasi Golden Globe untuk permainannya di sini. Untung saja di jajaran cast-nya, Duplicity masih mempunyai Tom Wilkinson dan Paul Giamatti yang berakting pas, tidak berlebihan. Ektras lain, yah, sekedar pengisi slot kosong untuk peran mereka.

Duplicity juga mempunyai kelebihan lain di mata saya, music scoring adegan pembuka dan seterusnya lah yang menghantarkan saya mengikuti film ini menuju ending. James Newton Howard ternyata tidak sekedar makan gaji buta dengan meluapkan segala kreatifitasnya menggubah musiknya di sini.

Katakanlah Tony Gilroy cukup berhasil menempatkan karyanya sebagai hiburan ringan yang memusingkan dengan intrik yang melayang-layang. Tapi patut diwaspadai juga, jika yang disajikan Giroy harus diakui tidak semenarik Michael Clayton. Meskipun begitu, saya masih akan menyanjung karya Gilroy ini sebagai salah satu spionase movie yang sanggup bermain aman di ladang intrik dan konflik khas Hollywood.

Sexy Beast (2000)

Director : Jonathan Glazer
Cast : Ray Winstone, Ben Kingsley, Ian McShane
Rate : 3,5/5


Berawal dari sebuah landscape belakang sebuah rumah mewah, terlentang seorang lelaki tambun yang menikmati hidupnya. Tak lama, gundukan batu besar hampir melenyapkan nasibnya. Film ini tidak bercerita tentang bagaimana ia melewati gundukan tersebut, karena setelah itu sang lelaki direkrut oleh seorang kepala gangster yang rapi-luar-rusak-dalam. The mob mengajak sang lelaki untuk menuntaskan suatu misi yang tak akan tertebak hingga ending-nya. Problema yang dimaksud bahkan tidak dapat saya duga sebelumnya.

Kelebihan utama di film ini adalah durasi. Kebanyakan film bertema gangster-gangster-an begini memerlukan waktu yang cukup panjang untuk menjelaskan hal-hal pokok yang mengikutsertakan tema dan cerita. Tapi, Sexy Beast malah bermain dengan menitan yang tak lebih dari 100 menit. Oleh sebab itu, film ini tidak terasa membosankan akan durasi, tapi malah mematok cerita secara pas tanpa ada kesan pemaksaan pemasangan plot-plot sampingan. Hingga, saya sebagai penonton dituntun oleh kinerja ceritanya yang sudah padat berisi tanpa harus dipusingkan dengan berbagai tetek-bengek yang lain. Kendati begitu, sang sutradara terlalu keenakan bermain dengan gayanya sendiri. Penataan editing yang semrawut bisa saja saya katakan sebagai kelemahan yang membuat penonton pusing tujuh keliling. Sistem ini seringkali berhasil, tapi jika diproses secara berlebihan semisal kasus Sexy Beast ini malah terkesan 'sembrono' dan merusak citra ceritanya sendiri. Memang agak sedikit mendukung alur mundur-maju yang diterapkan, tapi tidak untuk porsi yang serba lebih.

Hebatnya, film ini memiliki Ben Kingsley. 'jelmaan' Gandhi ini bermain sungguh memikat. Paparan aktingnya bahkan mengalahkan sepak terjang tokoh utamanya yang digawangi Ray Winstone. Permaian menyengat dari seorang Kingsley bahkan bisa merubah aroma kemayu dalam satu frame menjadi serangkaian yang membuat bulu roma berdiri. Lihat betapa tidak arif-nya ia meladeni seorang pramugrari dan betapa sekonyongnya ketika klimaks cerita. Kingley memang memperlihatkan sekali bagaimana menjadi seorang figuran yang sanggup bermain cemerlang. Sedangkan untuk Ray Winstone serta para pembantu lainnya, bisa dikasih kredit 'lumayan', atau kalau boleh saya bilang, pas porsi.

Lalu, kelebihan lain yang dimiliki film ini adalah penyajian tema kegangsteran yang berbeda dari film kebanyakan. Glazer yang pernah mebuat Birth memberikan penonton berupa teka-teki yang jawabannya bisa kita temukan jika kita mengikuti alurnya. Glazer memang tidak serta merta menyajikan suguhan yang ringan, bahkan bantuan dari scriprtwriter-nya pun boleh dibilang 'berat'. Memang agak sulit jika harus membandingkan dengan tema serupa milik Martin Scorsese, tapi jasa Glazer di sini jelas memberi angin segar di tengah dunia kriminal Hollywood kadang semakin lembek.

Sexy Beast memang bukan mob movie yang superior dan megah dari sisi teknis, tapi Sexy Beast masih memiliki darah keperkasaan akting yang dimiliki aktornya serta juga masih menyimpan sekelumit pendiktean akan ketamakan yang akan menyebabkan kehancuran bagi diri kita. Boleh jadi sangat direkomendasikan, tapi sekalipun agak capek menontonnya, saya jamin bukan karena durasi, tapi hanya dari ketidaksabaran penonton saja yang ingin mengetahui ending-nya lebih cepat.

Minggu, 12 September 2010

Emak Ingin Naik Haji (2009)


Director : Aditya Gumay

Cast : Aty Cancer, Reza Rahardian, Didi Petet, Niniek L. Kariem

Rate : 4,5/5


Tahun 2009 kemarin ada sebuah film under-exposed yang kalah saingan dengan film-film lokal tak jelas. Film yang mengetengahkan perjuangan keihklasan serta kesabaran manusia ini harus rela mengalah rupiah dengan horor seks dan komedi abal-abal yang tak kunjung dimatikan produksinya. Emak Ingin Naik Haji judulnya. Emak dimaksudkan sebagai proyek film drama berbalut religi. Bukan film religi berselimutkan over-drama. Maka, hasil yang disodorkan jauh lebih kaya tanpa ada kesan pemaksaan dalam unsur agamis. Menyibak premisnya yang biasa, Anda mungkin tidak akan percaya jika film ini berhasil membuat saya tidak berhenti berlinangkan air mata, terutama pada adegan menuju ending.


Aditya Gumay, pengurus sanggar Lenong Bocah dan pemimpin sanggar Ananda, seperti telah sangat berpengalaman dalam menyantroni film ini. Bahkan mengalahi kualitas dari sineas lokal yang telah berpuluh-puluh film diproduksi. Untuk filmnya ini, Aditya mengajak penonton untuk belajar bagaimana sikap kita jika ada di posisi para karakter. Tanpa ada kesan penguliahan dini. Ditambah juga bagaimana Aditya memfokuskan dunia kehajian dengan berbagai aspek dan subjek. Di sini jelas kita sadar dan tau jika gelar haji bukan semata tuntutan Tuhan, tetapi juga dengan maksud lain. Gengsi, tujuan reklame promosi kampanye, serta kesombongan belaka. Lewat karakter Emaklah, arti haji dipaparkan dengan benar dan penuh kebijkasanaan. Bagaimana proses Emak menggapai cita-citanya tidak hanya patut diikuti tetapi juga dipelajari setiap detail-nya. Niscaya, guliran itulah yang akan membuat kelopak mata Anda basah dengan sendirinya.


Sinematografi film ini memang tidak indah, tapi tamparan ceritanya sendiri sudah cukup membantu kameramen dalam menangkap gambar lusuh sebuah perkampungan. Musiknya pun boleh dikatakan biasa, dan sekali lagi penceritaan yang kuatlah menutupi segala kekurangan film ini. Betapapun itu, puncak kreasi saya sematkan kepada Aty Cancer dan Reza Rahardian yang bermain dengan sangat mantap. Hubungan ibu-anak yang sangat klop menepiskan skeptis buruk saya sebelumnya. Apa yang dimainkan mereka adalah sebuah contoh bagaimana aktor seharusnya menjiwai peran dengan sungguh-sungguh. Penyelamatan kedua untuk film ini. Para pendukungnya tidak ada masalah, semua bermain cukup apik, terutama Henidar Amroe yang walau sekilas tapi mempu memberi hawa panas.


Sayang sekali, pada satu kesempatan saya nilai Aditya melakukan keteledoran dan men-shoot dan mentransfernya ke pita seluloid. Luka tangan kanan saat ia melukis ternyata ditranslasikan sehingga di adegan berikutnya yang sakit malah tangan kiri. Adegan miss tadi untunglah hanya muncul beberapa detik yang tidak begitu mengganggu. Bahkan adegan tadi beriringan dengan curahan hati Emak yang sangat memorable.


Emak dalam satu sisi bisa dijadikan objek pembelajaran tentang kepasrahan umat kepada pencipta-Nya. Kita memang sepatutnya berdoa dan berusaha, tapi sang Khalik lah penentu tujuan perjuangan kita. Emak, yang luar biasa kepinginnya menapakkan kaki di Mekkah, harus rela mengikuti jalan Tuhan dalam mencapainya, sekalipun pahit geti harus diemutnya. Di satu sisi lagi, Emak bisa jadi wadah baru bagi sutradara yang lain agar berani membuat film non-komersil yang patut diperhitungkan. Semoga Aditya Gumay di karya berikutnya mampu mencapai kualitas seperti film ini. Dan semoga ada film lain yang memposisikan Reza dan Aty dalam satu frame. Akting mereka membuat saya rindu akan film dengan tingkat emosional tinggi dari para pemainnya.