Director : Mike Mithcell
Voice-over : Mike Meyers, Eddie Murphy, Cameron Diaz, Antonio Banderas, Walt Dohrn, John Cleese, Julie Andrews
Rate : 2,5/5
Oscar membuka tudung untuk Best Animated pertama kalinya pada tahun 2001, gegap gempita dunia animasi tiga dimensi malah sudah di-start oleh Toy Story. Walau Pixar menyumbang Monsters, Inc. namun yang juara pada waktu itu malah Shrek, perwakilan Dreamworks Animation. Memang tidak bisa ditepis jika Shrek memang menyajikan sebuah film tunggal yang lengkap dalam moral lesson, humor, dongeng, serta animasinya sendiri. Beberapa tahun kemudian Shrek menambah umbul-umbul 2 untuk hadir kembali di layar perak. Tak terduga, sekuel ini malah mensahihkan sebagai animasi perolehan laba terbesar hingga saat ini meski mutunya berada di belakang pendahulunya.
Gelap mata akan godaan dolar, ph serupa membangkitkan kembali saga ini dengan tambahan The Third di belakang tajuknya. Sial menerpa, kualitasnya terseok-seok namun labanya sangat bombastis. 3 tahun kemudian, Shrek dan kawan-kawan kembali lagi melambikan tangan untuk tayang Mei silam dengan judul kali ini: Shrek Forever After. Ceritanya singkat saja, Shrek merasa dirinya kosong di antara keramaian lingkungannya. Bertemu Rumpelstiltstin, ia meneken kontrak yang ternyata menjerumuskannya ke liang penderitaan. Sutradaranya mungkin berhasil membuat visual Shrek sedap di mata, tapi bertolak belakang dengan penceritaannya sendiri. Kendati tidak semurni Pixar, tapi Shrek masih kaya warna dan penokohan yang terbilang cukup mahfum dalam menghibur.
Sekali lagi, sayang bagi sang sutradara yang kurang membawa Shrek jauh dari kubang lumpur. Ide cerita yang klise tadi malah dibobrok dengan pengerjaan yang asal-asalan. Jadi penonton tidak lagi menemukan penuturan berdongeng seperti yang kita rasakan di prekuelnya. Tergesa-gesa untuk sampai ke ending yang riang gembira. Kekecewaan lain adalah begitu banyaknya karakter yang meliputi keseluruhan durasi. Memang ada beberapa yang mengena dan lucu, tapi tak sedikit pula yang tak sudi nongol di layar. Sekali lewat sekejap mata. Humor sarkastik yang sering dilontarkan pun terasa basi dan lembek. Terutama tokoh keledai yang seperti kita ketaui bersama adalah sumber pengocok perut penonton.
Untuk para voice-over mungkin ini sebagai mata pencaharian tambahan yang bisa menambah kocek mereka. Garis besar untuk Mike Meyers dan Eddie Murphy yang sepi job. Patut diingat, meski tidak vital, sumbang suara dari kuartet Meyers-Murphy-Diaz-Banderas masih cukup ampuh dalam menjaga kekonsistenan watak tokoh.
Biarlah Shrek Forever After menjadi tumbal bagi franchise raksasa ini. Dan anggap saja Shrek Forever After sebagai penutup yang manis untuk membiarkan oger hijau ini kembali ke kawahnya. Pemberian tongkat spin off ke Puss mungkin ada benarnya. Yah, nikmati saja Shrek Forever After sebagai hiburan pengisi waktu luang, dan diharapkan untuk tidak membandingkan hasil akhirnya dengan pendahulunya. Apalagi dengan How to Train Your Dragon yang juga peranakan Dreamworks. Happy watching!
by : Aditya Saputra
Voice-over : Mike Meyers, Eddie Murphy, Cameron Diaz, Antonio Banderas, Walt Dohrn, John Cleese, Julie Andrews
Rate : 2,5/5
Oscar membuka tudung untuk Best Animated pertama kalinya pada tahun 2001, gegap gempita dunia animasi tiga dimensi malah sudah di-start oleh Toy Story. Walau Pixar menyumbang Monsters, Inc. namun yang juara pada waktu itu malah Shrek, perwakilan Dreamworks Animation. Memang tidak bisa ditepis jika Shrek memang menyajikan sebuah film tunggal yang lengkap dalam moral lesson, humor, dongeng, serta animasinya sendiri. Beberapa tahun kemudian Shrek menambah umbul-umbul 2 untuk hadir kembali di layar perak. Tak terduga, sekuel ini malah mensahihkan sebagai animasi perolehan laba terbesar hingga saat ini meski mutunya berada di belakang pendahulunya.
Gelap mata akan godaan dolar, ph serupa membangkitkan kembali saga ini dengan tambahan The Third di belakang tajuknya. Sial menerpa, kualitasnya terseok-seok namun labanya sangat bombastis. 3 tahun kemudian, Shrek dan kawan-kawan kembali lagi melambikan tangan untuk tayang Mei silam dengan judul kali ini: Shrek Forever After. Ceritanya singkat saja, Shrek merasa dirinya kosong di antara keramaian lingkungannya. Bertemu Rumpelstiltstin, ia meneken kontrak yang ternyata menjerumuskannya ke liang penderitaan. Sutradaranya mungkin berhasil membuat visual Shrek sedap di mata, tapi bertolak belakang dengan penceritaannya sendiri. Kendati tidak semurni Pixar, tapi Shrek masih kaya warna dan penokohan yang terbilang cukup mahfum dalam menghibur.
Sekali lagi, sayang bagi sang sutradara yang kurang membawa Shrek jauh dari kubang lumpur. Ide cerita yang klise tadi malah dibobrok dengan pengerjaan yang asal-asalan. Jadi penonton tidak lagi menemukan penuturan berdongeng seperti yang kita rasakan di prekuelnya. Tergesa-gesa untuk sampai ke ending yang riang gembira. Kekecewaan lain adalah begitu banyaknya karakter yang meliputi keseluruhan durasi. Memang ada beberapa yang mengena dan lucu, tapi tak sedikit pula yang tak sudi nongol di layar. Sekali lewat sekejap mata. Humor sarkastik yang sering dilontarkan pun terasa basi dan lembek. Terutama tokoh keledai yang seperti kita ketaui bersama adalah sumber pengocok perut penonton.
Untuk para voice-over mungkin ini sebagai mata pencaharian tambahan yang bisa menambah kocek mereka. Garis besar untuk Mike Meyers dan Eddie Murphy yang sepi job. Patut diingat, meski tidak vital, sumbang suara dari kuartet Meyers-Murphy-Diaz-Banderas masih cukup ampuh dalam menjaga kekonsistenan watak tokoh.
Biarlah Shrek Forever After menjadi tumbal bagi franchise raksasa ini. Dan anggap saja Shrek Forever After sebagai penutup yang manis untuk membiarkan oger hijau ini kembali ke kawahnya. Pemberian tongkat spin off ke Puss mungkin ada benarnya. Yah, nikmati saja Shrek Forever After sebagai hiburan pengisi waktu luang, dan diharapkan untuk tidak membandingkan hasil akhirnya dengan pendahulunya. Apalagi dengan How to Train Your Dragon yang juga peranakan Dreamworks. Happy watching!
by : Aditya Saputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar