Sabtu, 12 Juni 2010
Mereka Bilang, Saya Monyet! (2008)
Director : Djenar Maesa Ayu
Cast : Titi Sjuman, Henidar Amroe, Ray Sahetapi, August Melasz, Bucek, Jajang C. Noer, Dewi Ayu
Rate : 2,5/5
Film ini yang membuat seorang presenter gosip Indra Herlambang bersama Djenar Maesa Ayu berhasil meraih Citra kategori penulisan naskah terbaik. Film ini berkibar tanpa gaung yang keras di tahun 2008 dengan membawa bendera kesederhanaan dengan tema yang benar-benar tidak sederhana. Mengapa Djenar berani memertaruhkan karir untuk film yang jelas bukan konsumsi generik bagi pemirsa Indonesia? Mungkin Djenar ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting bagi kaum perkotaan dan pinggiran kalau apa yang ada di film ini sangat nyata di kehidupan sehari-hari.
Mereka Bilang, Saya Monyet! bercerita mengenai seorang perempuan bernama Adjeng, seorang penulis cerita anak-anak yang mencoba mencari jalan terang akibat trauma masa kecilnya. Bersama ibunya, Adjeng bak kerbau dicolok hidungnya, menuruti apa yang ibunya mau sekalipun itu bertolak belakang dengan batinnya. Lain halnya jika sudah lepas dari rantai ibunya, ia bak hewan liar kelaparan yang mencoba mengansumsikan hidupnya dengan keliberalisasiannya. Flashback masa kecil yang sering menghantui Adjeng jelas sangat menyiksa lahiriah dan batiniah secara langsung bagi Adjeng di masa kini. Sang ibu yang culas dan kejam tempo lalu akibat lelaki, perlahan tapi pasti menjadi sosok panutan yang sebenarnya juga tak sempurna-sempurna amat.
Lantas, untuk mencukupi hidupnya Adjeng berusaha ekstra bekerja hingga jalan harampun dilahapnya. Temannya yang 'seide' pun bahkan makin memperparah pergaulan ketiganya. Konflik mulai terjadi ketika apa yang diinginkan Adjeng akhirnya berbuah manis. Bagi dirinya sendiri, tidak untuk ibunya. Perselisihan kembali timbul di antara keduanya yang juga diprovkasi pertengkaran dengan kehidupan pertemanannya. Lengkap sudah kehidupan seorang Adjeng. Seakan tidak pernah merasakan kebahagiaan sepanjang hidupnya, hingga ia harus kuat dan tegar dalam memilih. Tentunya untuk yang terbaik bagi dirinya.
Titi Sjuman adalah dewa penyelamat film ini, disertai dengan Henidar Amroe sebagai ibunya. Tanpa mereka berdua, film ini sangat membosankan meski durasi terbilang pendek. Dengan kecermelangan akting Sjuman dan Amroe, film ini ditopang hingga tetap dapat dinikmati sisa-sisa akhirnya. Kontraposisi kehidupan keduanya di dunia nyata, kehebatan semakin pantas disematkan bagi keduanya. Walaupun Sjuman masih agak kurang luwes, tapi penjiwaannya melalui karakter Adjeng ini bisa tersampaikan dengan sangat baik. Bertolak belakang yaitu penampilan pemeran pembantunya, Ray Sahetapi, Ayu Dewi, Bucek, Fairuz Faisal serta August Melasz agak sedikit kedodoran. Penampilan sekali lewat dari Indra Herlambang, Joko Anwar, Jajang C. Noer, serta Arswendo pun tak bisa memberi semangat keberhasilan bagi film ini.
Seperti yang saya bilang, tema film ini sangat-sangat pintar. Memposisikan seorang wanita di kehidupan pahit getir Indonesia jelas sangat memberikan pengaruh besar bagi siapa saja yang menontonnya. Iringan music scoring semakin mempertebal itu. Sehingga, naskah yang sedikit kurang menyentuh dari Herlambang dan Ayu sedikit tereliminasi dan disubstitusi dengan baik. Berkat kerja keras dari sang kretor, Djenar Maesa Ayu. Bersama Titi Sjuman, ini merupakan film pertama yang mereka persembahkan yang hebatnya tidak mengecewakan. Hal-hal detail sangat diperhatikan sekali oleh Ayu yang semakin membuat film ini realistis. Tidak perlu berumbar kata lagi, buktikan sendiri!
Lagi-lagi, keluarga adalah tempat di mana anak memerluka kasih sayang penuh dari orang tua, terutama ibu. Jika saja semangan cinta kasih itu direalisasikan tanpa harus ada persengketaan, sang anak akan tumbuh dari bibit kebaikan yang telah dituai ibunya. Sebaliknya demikian. Oleh sebab itu, mawas diri dari lingkaran kemaksiatan acap kali memberikan indera positif tanpa harus terjebak di dalamnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Aku termasuk suka film ini. Memang film ini punya banyak kelemahan, mengingat budget yang dipakai Djenar sangat-amat minim. Rumah produksi mayor mana coba yang mau biayai film semacam ini?
BalasHapusYang paling kusuka di film ini:
Pertama, karakteristik dua tokoh utamanya. Djenar memainkan penokohan dua tokoh utamanya dengan gesture dan detil-detil bahasa tubuh. Hal yang sangat jarang dijumpai di perfilman Indonesia yang cenderung mengandalkan dramatisasi untuk sebuah penokohan (yang culun digambarkan sangaaat culun, yang cerewet digambarkan sangaaat cerewet, tapi tidak ada permainan tubuh yang riil). Perhatikan saja Titi Sjuman dan Henidar Amroe.
Kedua, Djenar menggunakan metafora dan simbolisme dalam filmnya. Sebenarnya ini bukan hal baru, ada "Pasir Berbisik," "Impian Kemarau," juga "Under the Tree," yang sama-sama menggunakan metafora dan simbolisme. Hanya saja, ini merupakan langkah yang berani untuk sutradara debutan. Film bertabur metafora dan simbolisme memang bukan konsumsi penonton awam. Nyatanya, banyak penonton awam yang gak ngerti sama film ini kan? And then, they said that this movie was so damn worse.
Terakhir endingnya. Ending film ini termasuk ending yang terbaik untuk ukuran Indonesia era 2000-an. Ending multitafsir. Lagi-lagi Djenar memainkan metafora di endingnya, tapi kali ini metafora yang multitafsir. Hebatnya, Djenar mampu mengarahkan multitafsirnya itu pada satu titik. Jadi apapun penafsiran (tebak-tebakan) penonton, penafsiran itu tidak akan melenceng (kecuali yang nonton memang goblok banget). Djenar mengarahkan penafsiran itu ke arah konklusi dilema batin Adjeng. Multitafsir ini mengingatkan saya pada "Le Grande Illusion," film Perancis klasik yang sampai sekarang dianggap "one of the best movie all-times."
Kebanyakan mungkin akan menafsirkan endingnya itu sebagai usaha perpisahan Adjeng dengan masa lalunya.
Mungkin, ada juga, yang bakal menafsirkan sebagai usaha Adjeng untuk berteriak pada masa lalunya. Maksudnya, di ending itu masing-masing tokoh yang berpengaruh dalam kehidupan Adjeng muncul dalam satu set secara bersamaan. Termasuk Adjeng kecil dan Adjeng remaja. Mereka tidak saling kenal. Tidak pula saling menyapa. Dari jendela Adjeng melirik mereka, seolah-olah Adjeng mau bilang pada mereka, "Nyatanya, kita tidak saling kenal. Jadi jangan pernah sok menghakimi saya! Jangan pernah bilang saya monyet!"
Keseluruhan yang situ terangin emang saya setuju banget. Film ini pantas jadi masterpiece dan harta karun Indonesia untuk berpuluh-puluh tahun kemudian. Djenar memang suka mempersonifikasikan seluruh aspek dalam film ini. Memang butuh penonton yang loyal dan sanggup untuk menerjemahkan apa yang ingin Djenar sampaikan.
BalasHapus