Director : Lola Amaria
Cast : Titi Sjuman, Lola Amaria, Donni Damara, Donny Alamsyah
Rate : 3,5/5
Konon, Tenaga Kerja Indonesia atau bekennya disebut TKI adalah sumber devisa terbesar nomor 2 bagi Indonesia. Fakta itu benar adanya. Mengingat TKI sudah menjadi pekerjaan alternmatif bagi warga Indonesia khusunya wanita yang merasa 'kurang' dengan apa yang ada di Indonesia. Pekerjaan yang tidak mudah, karena harus melewati rentetan persyaratan jika memang harus 'melancong' secara ilegal. Frase inilah yang membuat Lola Amaria untuk berusaha keras menyalurkan idealisme nya dalam membuat film mengenai TKI di Hong Kong, khususnya.
Mayang, gadis desa yang menyeberang lautan guna mencari adiknya yang mengadu nasib sebagai TKW di Hong Kong, Sekar. Awalnya, kehidupan kakak beradik ini sempat berselisih akibar kecemburuan sosial yang dilakukan oleh ayah mereka. Berat sebelah istilanya. Sang ayah menyanjung setinggi langit si Sekar karena telah menjadi 'sesuatu' bagi keluarga. Kontras dengan sang kakak yang masih bekerja buruh di desa. Sampai di Hong Kong, Mayang lantas juga menjadi pembantu di salah satu keluarga nyambi tetap fokus kepada trujuan utamanya, mencari sanga adik. Di sana, Mayang dibimbing oleh 'mentor' Gandhi dan dibantu (juga dicintai) oleh Vincent. Melihat keteguhan Mayang, berbondong-bondong para TKI yang lain ikut membantu.
Peti akhirnya terbuka. Mayang sangat terpukul dengan apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Adik yang di matanya gadis lugu perlahan menjadi binal akibat paksaan ekonomi yang terus menghimpit. Film ini tak melulu menonjolkan konflik persaudaraan itu. Di sisi lain, para TKI yang juga merupaka teman Mayang juga memiliki penderitaan yang tidak ringan. Mulai dari telilit hutang, dimanfaatkan oleh turis hingga penyiksaan sang TKI oleh majikannya. Dengan penutupan konser dari band paling fenomenal di Indoneisa, hubungan darah Mayang dan Sekar kembali mengalir dengan riaknya.
Lola Amaria melakukan observasi yang tidak sebentar demi merampungkan film ini. Seluk beluk dunia per-TKI-an dijelajahnya dengan sangat baik sehingga apa yang tersaji di film berdurasi 90menitan ini terasa nyata. Bukan bermaksud menguliahi, Lola saya anggap berhasi menuangkan ide-idenya lewat film ini guna memprovokasi kehidupan para pekerja ini. Mulai dari bunga pinjaman yang mahal yang harus para peminjam memilih jalan lain untuk melunasinya. Belum lagi, ternyata para majikan TKi sering main kasar. Meski tidak seluruh majikan, tapi tetap saja hal itu menjadi sedikit rancu dan gamblang bagi mereka yang ingin mendapatkan kesejahteraan hidup. Lola did it! Tak lantas film ini sempurna, karena satu dua kesalahan yang terjadi. Bagusnya, hal itu seakan tertutupi dengan kehebatan ceritanya.
Pakem film Minggu Pagi di Victoria Park terletak di rangka permainan gemilang dari seorang Titi Sjuman. Di sini ia membuktikan bahwa permainan apiknya tempo lalu di Mereka Bilang, Saya Monyet! bukan serba kebetulan. Gerak badan, hingga ekspresi paling menyakitkan sekalipun dijabaninya dengan penuh jiwa. Pesona seorang drummer yang melekat di dirinya, seakan sirna jika saya melihat serangan akting yang baik. Meski belum sempurna, setidaknya ia memeperbaiki aktingnya yang sebelumnya masih agak kaku. Pun untuk para para ekstra termasuk Lola Amaria sendiri. Akting mereka tidak bisa dikatakan buruk walau tak sudi juga dibilang gemilang.
Film ini menceritakan bagaimana hubungan persaudaraan yang baik harus kandas hanya karena perbedaan nasib. Dengan latar belakang isu global TKI, film ini dengan lugas memaparkan jika kebaikan keluarga itu akan tetap abadi sekalipun harus melalui proses yang tak mudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar