Director : Martin Brest
Cast : Al Pacino, Chris O'Donnell, Phillip Seymour-Hoffman, James Rebhorn, Gabrielle Anwar
Rate : 3,5/5
Inilah film yang menghantarkan Al Pacino ke panggung Oscar sepanjang masa karir perfilmannya. Ironis memang, mengingat ia sudah mendapatkan banyak nominasi dan selalu dijagokan di setiap kesempatan. Memang unsur keberuntungan belum menyertainya hingga akhirnya ia membabi buta dengan peran butanya di film ini. Jika boleh ditelisik, Rob DeNiro yang satu angkatan dengannya sudah menggenggap 2 Oscar jauh sebelum Al merenggutnya. Apa mau di kata, sekali lagi, Pacino memang kurang beruntung. Dan asal tau saja, Al hampir di-KO oleh penampilan Robert Downey Jr, sebagai Charlie Chaplin nya di tahun yang sama.
Film ini mengetengahkan seorang siswa, Charlie Simms yang mengambil jam kerja di akhir pekan Thanksgiving Day. Tak dinyana, ternyata tugas yang harus diembannya adalah merawat seorang pensiunan Angkatan Darat yang menderita tuna netra, Frank Slade. Tetua ini bukan tipikal orang penyakitan yang akan berdiam diri. Dengan latar belakang pekerjaannya, ia berdiri menjadi seorang yang kuat, slenge'an serta susah diatur. Untuk menambah premis, Simms juga dihadapi sebuah masalah batin akan tindakan temannya di sekolah tersebut.
Ternyata, Slade telah merencanakan sebuah perjalanan bagi mereka berdua tepat saat anak Slade juga liburan. Mereka ke New York. Di tempat inilah mereka akhirnya perlahan-lahan menguak sisi masing-masing. Tapi yang lebih kontras adalah perubahan sikap Frank atas kesendiriannya yang memuncak. Ada di salah satu adegan yang menyebabkan Frank berada di titik terlemah seorang manusia. Beruntunglah, Charlie dengan bijak bisa menetralisir semuanya.
Suatu penceriteraan yang manis dari sutradara Martin Brest yang kelak dikritik habis-habisan karena Gigli-nya. Martin di sini bukan hanya menegaskan sifat manusia dari 2 tokoh sentralnya, tapi juga memaparkan bagaimana hubungan pertemanan yang baik dari jangka umur yang terlampau jauh. Mutualismemu dari Charlie dan Frank sungguh nyata di depan mata. Frank yang semula bertindak sekendak hati akhirnya dengan wibawanya bisa nerima sebuah kenyataan. Begitu pula Charlie, hubungan sentralnya ini membuat ini berfikir ulang atas apa yang telah dan harus ia lakukan terhadap masalah di sekolahnya.
Lantas, arti judulnya sendiri melekat pada karakter Frank. Yang meskipun buta tetapi memiliki sebuah indera perasaan jauh lebih tinggi terhadap seorang wanita. Terbukti saat ia mengajak seorang perempuan tak dikenalnya untuk menari tango. Sungguh memorable, cantik dan apik dalam penyajian. Dan yah, raja dari film ini adalah Al Pacino. Peran orang butanya ini membuat ia menjadi salah satu aktor yang sanggup memerani karakter apapun. Sulit rasanya memikirkan aktor selain Al untuk menjadi Kolonel Frank. Rangkanya sudah menempel erat dengan jiwa Frank. Dukungan dari Chris O'Donnel juga cukup membantu. Oh ya, di sini kalian juga bisa melihat masa-masa awal filmografi seorang Phillip Seymour-Hoffman.
Satu kalimat dari mulut Al yang saya ingat di film ini : don't destroy, protect it, embrace it. It's gonna make you proud some day. I promise you. Itu ketika Al membela mati-matian Charlie yang sedang 'disidang' atas pengakuannya. Dan, moral lesson film ini bergaung keras di kala menontonnya. Hidup itu tetap suatu pilihan, tinggal kita sebagai si pemilih harus mengambil sikap yang benar agar pilihan itu tidak menjadi bumerang atau dampak negatif ke depannya. Film yang menyentuh juga memukau dalam banyak sisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar