Kemarin, Sabtu, 7 Agustus 2010, berniat ingin bermalas-malasan di kamar tercinta terpaksa harus dipupuskan seketika saat I Walk the Line dari handphone gw bersenandung. Ajakan menonton film gratis di depan mata. Manalagi ada sebuah film yang belum ditonton, yaitu Planet 51. Menunggu jam 3, ajakan nonton itu, gw mengisinya dengan tidur-tiduran disambi baca novel Negeri van Oranje.
Mendekati jam dinding berdentang tiga kali, di otak gw tiba-tiba terbesit ide konyol. Bagaimana kalo gw mencoba ajak keponakan gw buat nyicipin studio bioskop sedari dini. Tololnya, gw gak ngeh kalo umurnya masih 2,5 tahun. Umur segitu mana sanggup buat berlama-lama dalam ruangan gelap kecuali dia tertidur saat itu. Idiom itu gw buang jauh-jauh dan akhirnya menggandeng sang keponakan tercinta menuju Palembang Indah Mall, tempat bioskop itu menetap.
Pukul 4 sampai di sana, tiket sudah dibeli. Berhubung mengajak bocah, sudah jelas perut tercintanya harus dimanja. Hinggaplah kami (gw, ponakan gw, sama temen yang ngasih gratisan) ke resto untuk sekedar minum es. Apa mau dikata, dengan gerak aktifnya, keponakan gw tidak mau duduk dan akhirnya berdiri saja di bangku yang telah disediakan. Itu belum termasuk saat dia makan es dengan lahapnya dan menyisakan secercah noda di bajunya. Mengindahkan pemikiran om-nya jika baju itu masih akan dipakai buat beberapa jam ke depan. Tragis, mulai saat itu.
Keluarlah kami dari resto itu, dan gw mengharuskan menggendong tuh bocah sepanjang perjalanan. Tak jauh melangkah, ponakan gw merengek menyebut ayon (baca : balon) yang sempat dilihatnya. Dengan beragam tipu muslihat dan berbohong kecil (untuk kebaikan gw juga sih....) akhirnya bocah putih itu diem juga. Lanjut ke arena permainan. Keatraktifan tuh anak gak bisa dibendung lagi. Hingga gw aja yang kewalahan ngeladeni hingga keringat gw gak tahan buat mengucur deras.
Adegan puncak itu tiba. Setelah kami masuk ke studio 6 dan menikmati dengan santai Planet 51, ponakan gw semula adem aye. Dengan tangan kiri memegang Cha-Cha dan tangan kiri buat mencomot ke mulutnya, ponakan gw bersandar ke dada gw. Gw tenang ketika itu, kesempatan nonton sampe abis akhirnya terkabulkan. Tapi, apa mau dikata, tak lama kemudian bocah itu meraung juga. Ada tiga opsi : dia ketakutan dengan sosok alien di kartun itu, dia kedinginan, atau dia memang kebosenan. Gw pilih opsi 3 buat nenangin hati gw sendiri.
Keluarlah kami dengan lesu di raut muka gw dan temen gw. Iming-iming balon tadi akhirnya meredakan isakan tangis si bocah. Setelah semua urusan kelar, gw dan ponakan gw pun dengan pongah menyusuri jalan pulang setapak-demi setapak.. Sesampai di rumah, gw cuma bisa mengurut lengan kiri gw yang rasanya mau copot saat itu juga, dan mengelus-ngelus dompet akan betapa mengurasnya anak kecil satu ini. Tapi tak apalah, yang penting gw bisa belajar banyak hal dari kejadian ini.
Kesimpulannya, menyenangkan hati bocah memang tidak disalahkan bahkan sangat dianjurkan. Tapi mesti tau kondisi waktu, emosi serta dompet. Salah-salah, saat ponakan kita lagi berada di tingkat menyebalkan, bisa-bisa emosi kemarahan kita gak bisa terkontrol. Gw yang termasuk salah persepsi sebelumnya memang harus bilang, mengajak bocah jauh lebih menghabiskan rupiah. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar