Director : Dean DeBlois, Chris Sanders
Voice-over : Jay Baruchel, Gerard Butler, Craig Ferguson, America Ferrera, Jonah Hill, Christopher 'McLovin' Mintz-Plasse
Rate : 4/5
Berdongeng dengan menggunakan spesies binatang-binatangan memang kadang menjadi sebuah tolak ukur sebuah animasi. Tapi, dewasa ini parameter tadi seperti tidak diberlakukan lagi mengingat edarnya beberapa film animasi yang menitikfokuskan kepada tampilan asli manusia. Memang masih ada beberapa animasi yang bersifat fabel, tapi tidak banyak seperti dekade belakang. Tahun 2010 saja sudah ada Toy Story 3 dan Despicable Me yang menitikberatkan kepada arsitektur manusia. How to Train Your Dragon yang datang sebelumnya mampu menyesuaikan pertautan manusia dengan hewan secara rapi dan tidak terkesan memaksa.
Dragon memang membawa nyawa baru, baik dari segi animasi, cerita bahkan kingdom binatang yang diajak. Naga, yah memang naga sempat menjadi bahan lucu-lucuan di saga Shrek, tapi di sini naga menjadi tokoh kunci bagaimana kaum viking merubah pola hidup biadabnya menjadi lebih manusiawi. Ceritanya memang agak mudah ditebak, jika tak mau dibilang klise. Seorang lelaki lemah yang akhirnya menjadi pahlawan tak terkira bagi kaumnya. Tak lupa juga yang akhirnya ia mendapat sekuntum cinta dan kepercayaan penuh serta kasih sayang dari ayahnya.
Cerita Dragon memang berasal dari tulisan Cressida Cowell, tapi penulis naskah dan sutradaranya sanggup meramu tampilannya menjadi segar dan tidak terkesan medioker. Apapun yang terjadi, Dragon tetap memiliki sebungkus orisinalitas dari sisi penceritaan tadi. Itu belum ditambah dengan pesan moral yang membuat filmnya jadi lebih kaya dan bergizi. Yang saya tangkap adalah bagaimana kita diajarkan (tapi tidak sedang digurui) bagaimana membuang arogansi dengan sesama makhluk hidup dan tentunya rasa kasih terhadap binatang. Memang agak berlebihan jika pet kita berbentuk hewan penyembur api, tapi cukup dimaklumi juga tentang kehidupan antah berantah kaum viking. Sulih suaranya tidak ada kendala yang berarti, semua aktor mengisi karakternya dengan pas porsi dan tidak berlebihan. Pun musik yang mengalun menambah keasikan menonton.
Bagian favorit saya adalah bagaimana tokoh utama kita menolong dan melatih 'tangkapan'-nya menjadi lunak dan penurut. Chemistry yang terjalin sepanjang pembentukan karakter baru tadi sungguh enak dilihat. Bahkan dari sesi tadi, sang tokoh utama merubah sudut pandangnya terhadap habit dari naga itu sendiri. Lihat betapa lucunya ia menjinakkan para naga setelah adegan pedekate -nya tadi. Ditambah dengan visual yang menggugah, Dragon sanggup mencapai kesuksesan kritikan positif seperti halnya 'kakak tingkat' di Dreamworks Animation yang lain, Kungfu Panda.
Untuk sebuah sajian berkualitas, justifikasi kepada How to Train Your Dragon cukup beralasan. Sisi hiburan yang bisa dinikmati oleh segala umur, tampilan animasi yang tidak seadanya, serta moralitas intelegensia dari ceritanya pun mampu menyempurnakan feature ini. Dan, penantian panjang saya dari bulan Maret hanya untuk menunggu film ini hadir di bioskop, terbalas lunas atau bahkan saya mendapatkan lebih dari yang saya harapkan. Meski tanpa 3D.
How to Train Your Dragon gave me a point of view how to love other creature and taught me that dragon isn't only a wild animal, but funny in other side. Welcome, Toothless!!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar