Director : M. Night Shyamalan
Cast : Noah Ringer, Dev Patel, Nicola Peltz, Jackson Rathbone, dan para ekstras dari India
Rate : 1,5/5
Sebulan sebelum film ini rilis di kota saya, gembor-gembor akan busuknya film ini sudah berdengung keras. Berhubung saya tipe penonton-yang-gak-peduli-penilaian-orang-lain dan juga pecinta serial kartunnya, maka The Last Airbender saya tonton juga hari ini. Tapi kesan was-was memang masih menyertai saya mengingat arsitek yang akan membangun Avatar versi film ini adalah si pendongeng gagal lewat Lady in the Water dan si perusak logika lewat The Happening. Manusia itu bernama Manoj Night Shyamalan. Dengan langkah yang tak mantap, pertarungan mata dan layar studio pun saya mulai...
Ceritanya tak jauh beda dengan serialnya sendiri, dua kutub dari Negara Air menemukan seorang bocah yang disinyalir adalah the one, atau Avatar. Avatar sendiri maksudnya adalah sosok yang bisa melindungi dunia dengan segala kemampuannya. Hidup Avatar tidak sehat, karena menjadi buronan Pangeran Zukko (yang juga memiliki masalah pribadi dengan ayahnya) dan harus menyempurnakan semua elemen dunia. Aang, Katara, dan Sokka akhirnya melakukan perjalanan demi mencapai perdamaian dunia keempat elemen : Air, Water, Earth dan Fire.
Apa yang telah Shyamalan perbuat? Saya sungguh tidak menyangka jika hasil akhir film ini begitu hancur lebur. Okelah, saya mengerti sekali jika Shyamalan mau bereksperimen sedikit dengan sedikit keluar jalur dari anime-nya, tapi apa yang ia lakukan di sini saya bilang sebagai pemusnahan karakter. Shyamalan dengan tega merubah image para tokoh. Lihat saja Katara, Sokka dan tentunya Aang. Katara yang serius dan sensitif direka Manoj menjadi sosok yang tingkat annoyance-nya berlebihan, Sokka yang terkesan lucu dan menjadi penghantar humor di serialnya menjadi sok serius, konyol dan merusak. Bagaimana dengan Aang? Keputusan Manoj untuk merekrut pemain baru yang jago beladiri patut diapresiasikan. Oh Manoj, itu saja tidak sangat cukup. Aktor itu juga harus bisa berakting, dan Noah Ringer sama sekali nol besar dalam masalah itu semua. Gelitikan Aang versi kartunnya terasa lenyap dan semakin menjunjung ketidakbetulan film ini.
Hal pokok yang wajib dikritik adalah pemilihan aktor. Lupakan ketiga tokoh tunggal tadi yang benar mis-cast. Lihat betapa menyedihkannya jika masuk teritori Fire Nation yang dihuni oleh kumpulan dari kampung Mahatma Gandhi. Sepertinya Shyamalan membuka kesting besar-besaran di India. Jadilah, Fire Nation seperti kampung pinggiran di negara India. Parah lagi akting mereka ala kadarnya. Manoj, tidak sekalian ngajak Amitha Bachnan, Aiswarya Ray, Ajay Devgan, Kajol, atau Shah Rukh Khan mungkin?
Saya juga mengerti jika Anda akan merasa kebosanan melihat seluruh joke yang dilontarkan pemainnya, garing dan (YA AMPUN!) menyedihkan. Sekarang masalah efek. Tidak ada yang spesial yang disajikan supervisor special effect di film ini. Semua cuma pengulangan dari film-film sejenis. Sosok Appa yang raksasa tidak beda dengan raga beruang besar di The Golden Compass, adegan tsunami yang bisa kita liat lebih memukau di 2012, serta adegan laga yang seperdelapannya pun tidak sanggup menyamai seri The Lord of The Rings.
Satu-satunya keunggulan The Last Airbender adalah view, landscape, dan visual yang disorot kamera dari sudut pandang langit. Indah memang. Sayangnya itu tidak diperindah dengan skor musik yang nyatanya milik serial anime-nya pun lebih bagus.
Sebuah film (lagi-lagi) saduran yang (lagi-lagi) merusak produk orisinilnya. Shyamalan jelas-jelas gagal dalam mengeksekusi The Last Airbender menjadi film yang bagus, layak tonton bahkan menghibur. Semoga Shyamalan bisa belajar banyak dari kegagalannya di film ini, dan membuktikan pemikiran negatif atas dirinya serta mampu mengangkat harkat martabatnya kembali di dunia perfilman lewat Book 2. Aminnnnn.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar