Minggu, 29 Agustus 2010

Brothers (2009)

Director : Jim Sheridan
Cast : Tobey Maguire, Natalie Portman, Jake Gyllenhaal, Carey Mulligan, Sam Shepard
Rate : 3/5


Jika saya menyebut sebuah nama, Jim Sheridan, yang terbesit seketika itu adalah kepiawaian Jim dalam membentuk Daniel Day-Lewis dengan peran luar biasanya di My Left Foot. Yah, Sheridan salah satu sutradara berkualitas yang dimiliki Hollywood berkat karya-karyanya yang hampir seluruhnya bermutu. Aktor semisal Lewis, Brenda Fricker, Djimon Hounsou, Richard Harris, Samantha Morthon serta Emma Thompson patut berterima kasih kepada Jim atas peran mereka di The Field, In The Name of Father atau In America. Karena berkat beliau, upah nominasi Oscar berhasil mereka dapat di film-film Jim. Setelah libur 4 tahun, tahun 2009 kemarin Jim akhirnya membuat film baru yang inti ceritanya mengadaptasi dari film bertema serupa produksi Denmark. Tiga aktor berkualitas direkrut Jim, dan jadilah Brothers sebagai perwakilannya di Golden Globe 2010 lalu.

Namun, seperti mengulang Get Rich or Die Tryin' yang lemah kualitas, Jim mengeksekusi Brothers juga dengan sangat kewalahan. Semangat yang dibawa Brodre -film yang di-remake, ternyata tak mampu diemban Jim dengan jiwa yang sama. Kendati telah memborong Tobey Maguire, Jake Gyllenhaal, serta Natalie Portman sebagai wayangnya, dan itu dirasa tidak cukup. Dengan nama-nama matang di bidangnya tersebut, yang ada Brothers malah terhanyut dalam kesepian filmnya. Tidak bertaji taring, apalagi jika mau sampai ke tingkat karya pujaan Jim terdahulu.

Tobey berperan sebagai serdadu perang yang ditawan musuh dan meninggalkan seorang istri serta dua orang putri termenung di rumah. Di tengah kecaman yang menyambuk, ternyata rumahnya diisi oleh kedatangan sang adik yang ugal-ugalan tetapi berhasil membawa harmoni keluarga ke tempat yang lebih larut dalam kesenyuman. Plot yang tidak diubah satu apapun dari film orisinilnya. Masih bercerita akan kegamblangan kehidupan rumah tangga yang terusik oleh dunia luar yang tak terbayang kedatangannya. Saya pun, merasa film Brodre (Denmark) memang telah memberi warna baru tentang lika-liku gejolak batin angkatan perang. Saduran prosanya memang sangat menyentuh dan menguras emosi.

Sialnya, lewat Brothers ini Jim seakan kekurangan pasokan vitamin. Oke, memang tidak menjurus ke sebuah film gagal, bahkan film ini masih bisa dibilang bagus. Tapi, atmosfer yang dibawa pemainnya lah yang membuat film ini kurang daya. Dan itu buah tanggung jawab Jim yang dicap gagal mengarahkan para tukang aktingnya. Tobey dengan muka boyish-nya dipaksa untuk bermain amarah dan emosi lainnya, Portman yang cenderung 'naughty', malah di sini kelembekannya memang benar-benar lembek. Tak ubahnya dengan Jake Gyllenhaal, berewokannya tak cukup ampuh mencerminkan sosok yang slenge'an. Malah, cameo cantik dari Carey Mulligan bisa memberikan angin segar di peran singkatnya. Tapi yang kebagian getah manisnya si Tobey, karena berkat peran istimewa ini dia berhasil masuk di salah satu nominasi Golden Globe kategori Best Actor Drama.

Memang tidak mutlak menyalahkan para sineas dan kru di belakang layar atas ini semua. Saya pribadi melihat film ini juga sangat sulit untuk dibawa ke hawa komersialiti kaum borju Amerika. Ceritanya terlalu 'suram', dan Jim dengan hati Amerika-nya cenderung mengangkatnya menjadi tidak sendu. Adegan-adegan yang disinyalir mampu memikat emosi penonton ternyata berjalan lambat, bertolak belakang dengan hentakan musik yang cukup apik.

Terlalu dini untuk menyebut film ini sebagai salah satu sajian bermutu. Dan terlalu munafik juga jika film ini dihakimi sebagai produk tanpa makna. Karena dibalik keterpurukan di sana sini, Brothers masih menyisakan sekelumit kepedihan hati di kala sosok yang kita sayangi ternyata memiliki ruang khusus di hatinya untuk orang yang sangat kita kenal. Kasus Brothers, anak menjadi korban kesengsaraan batin. Dan itu, sangat perih.

Sabtu, 28 Agustus 2010

The Shawshank Redemption (1994)

Director : Frank Darabont
Cast : Tim Robbins, Morgan Freman, Clancy Brown, Bob Gunton, James Whitmore
Rate : 5/5 + piagam nomor satu sepanjang masa


Frank Darabont memang tidak seproduktif sutradara kondang kebanyakan. Dari resume-nya, sebagian besar ia buat dari adaptasi novelis sejawatnya, Stephen King. Tapi, dari sedikit filmografi itu, hampir semua karyanya bisa dikatakan sangat bagus, jika tak boleh dibilang sempurna. Sebut saja The Shawshank Redemption, The Green Mile, The Majestic dan The Mist, film terakhir yang dibuatnya 2007 lalu. Darabont memang selalu memuat filmnya tidak sekedar konsumsi perut, tapi lebih kepada sebuah pendekatan realitas serta disisipi adegan seru di belakangnya. The Green Mile hadir membawa keajaiban seorang narapidana, The Mist memberikan thriller horor yang tak biasa, dan The Shawshank Redemption, maha karyanya, masih bermain di kawasan hotel prodeo. Redemption yang semula dianggap karya biasa, perlahan ditasbihkan sebagai salah satu film paling berpengaruh sepanjang masa.

Film bermula di ruang sidang yang menghakimi Andy Dufresne atas kematian istrinya. Setelah mengalami lika-liku persidangan, akhirnya ia divonis untuk menginap di penjara Shawshank. Di sana, ia berteman dengan seorang Red, napi yang telah berpuluh-puluh tahun harus mendekam di rumah berpagar tembok itu. Hari-hari Andy di sana mengalami perubahan dengan idealismenya serta menjadikannya sosok yang dikagumi banyak orang. Tapi ternyata, perannya di 'hotel' itu bukan hanya sebagai tahanan, tapi Andy juga memainkan tokoh kaki tangan sang pemimpin yang mencoba jalan haram untuk kekayaan pribadi.

The Shawshank Redemption adalah contoh film yang nyaris smpurna dari segala sisi. Penyutradaraan Darabont di sini benar-benar memukau, sehingga penonton dibawa ke sebuah labirin kehidupan Andy tanpa merasa kebosanan. Kehidupan kelam dan menyiksa selama di prodeo ditampilkan tanpa efek yang menyakitkan. Lewat karakter Andy pula penonton diajak untuk berkelana dan berpikir bagaimana ia bisa bebas cepat dari kukungan tersebut. Pertemanannya dengan karakter Red juga sangat menyentuh. Dalam artian, mereka dihubungkan karena persamaan nasib dan pandangan Red kepada Andy yang dirasanya 'berbeda'. Kita pun tak akan sanggup menebak ujung filmnya karena telah larut dalam keasikkan perjalanan cerdas sang tokoh utama. Bahkan detail penting pun seolah dibuat kiasan tanpa kita tahu jika benda-benda tersebut bergunanya luar biasa.

Harmoni film ini sungguh luar biasa. Ritme adegan per adegan yang disajikan begitu pas dan mengena dengan setiap dialog yang terlontar. Bahkan dari ekstras-pun, ucapannya begitu masuk akal. The Shawshank Redemption memang memberikan penonton bukti nyata bagaimana kehidupan keras sebuah penjara itu. Tembok beton yang menyulubunginya berdiri kokoh mengurung para napinya untuk 'menjadi yang lebih baik'.

Ditambah dengan narasi dari seorang Morgan Freeman yang membahana semakin mengukuhkan kehangatan film ini tiada duanya. Dan jelas, Freman serta Tim Robbins yang bermain sama bagusnya memberikan performa terbaik mereka hingga juri Oscar tak segan memberi upah nominasi.

Dengan durasi yang berlebih, saya jamin The Shawshank Redemption tidak membuahkan kepenatan bagi penonton. Yang ada, penonton bisa memetik sebuah pelajaran penting bahwa kerja keras itu adalah mutlak untuk merenggut suatu keberhasilan yang kita tak tau dalam bentuk apa keberhasilan tersebut.

Jumat, 27 Agustus 2010

The Box (2009)

Director : Richard Kelly
Cast : Cameron Diaz, James Marsden, Frank Langella, Sam Oz Stone
Rate : 3/5


Manusia hidup memang atas dua pilihan. Dalam hal apapun. Tinggal personalitinya saja menyikapi dua pilihan yang mendilemakan tadi. Saya rasa, moralitas manusialah yang menentukan sikap bagaimana pilihan yang telah ditunjuknya agar tidak merugikan orang lain, setidaknya menguntungkan secara pribadi. The Box, berangkat dari karangan pendek berjudul Button, Button karya Richard Matheson, menghadirkan prosa yang bertopik pada pilihan tadi. Sineas muda berbakat, Richard Kelly yang sempat dirajakan atas Donnie Darko nya, kali ini menulis naskah dan menyutradarai filmnya sendiri.

Pasutri satu anak dikejutkan dengan satu hadiah yang akan mengubah hidup keluarga ini ke depannya. Sebuah tombol yang berisi maklumat persyaratan yang membingungkan dan menghasut secara bersamaan. Mereka diopsikan akan mendapat uang banyak jika menekan tombol itu. Tapi kegelisahan mulai mengganggu di kala opsi berikutnya yaitu ada seseorang di luar sana yang akan tewas bersamaan dengan digencetnya tombol itu. Ternyata, flashback masa lalu serta serentetan teka-teki di sekililing mereka turut membuai menjadi tanda tanya besar. Klimaksnya, lagi-lagi pasutri ini diharuskan bimbang tatkala sang anak sudah menjadi salah satu pilihan besar itu.

Bagi saya, cerita film ini sungguh luar biasa. Menempatkan sosok manusia di ujung jurang yang banyak serigala di sekitar. Terjun bebas untuk mendapatkan yang diraih, atau mundur selangkah tetapi bobrok dalam kenyataan. Penulis cerpennya dengan cerdas merombak tema manusiawi tadi menjadi suatu konsumsi yang menegangkan. Tapi sayangnya, kehebatan plot tadi malah dirusak oleh sutradaranya sendiri. Kelly yang tergopoh-gopoh membawa karyanya untuk ke level thriller malah terkesan gagal. Opening-ending film inilah yang mesti diberi kredit khusus. Karena pada bagian itu, sisi suspense dan menakutkan perlahan timbul dengan sendirinya. Sisanya, Kelly hanya mengajak penonton untuk menyaksikan kedua tokoh sentralnya bersusah payah menebak apa maksud dalang melakukan ini semua. Pertengahan yang malah menyisakan kesesatan bagi penonton.

Mungkin Kelly berkeinginan agar penontonnya juga terbawa nuansa horor dari sosok musuh. Sedikit berhasil, tapi tak cukup untuk menuntaskan tujuannya tadi. Iringan musik yang juga tidak membantu malah menimbulkan pertanyaan baru di benak penonton. Apa iya, film biasa ini diciptakan oleh seorang Donnie Darko, film cult modern karyanya?

Bagusnya, Kelly berhasil mengarahkan tukang aktingnya ke tingkat yang lebih baik. Cameron Diaz dan James MArsden jelas tidak bermain buruk. Chemistry keduanya boleh dikatakan klop. Tidak buruk pokoknya. Begitu pula dengan si Frank Langella yang sukses membuat kengerian dengan muka buruknya.

Kesimpulannya, mungkin The Box tidak dikhususkan untuk ditonton di waktu sibuk, melainkan sedikit keluangan waktu untuk bisa mencerna baik-baik apa yang dikehendaki pembesutnya. Tapi memang mustahil memaksakan diri untuk menghakimi The Box sebagai karya brilian. Karena, dengan kekosongan sisi menarik dari film inilah yang membuat The Box hanya dikatakan sebagai karya yang lumayan. Tapi, pelajaran penting yang menyertainya boleh Anda camkan baik-baik. Perhatikan! Memilih itu bukan perkara mudah. Gunakan saja logika dan kepentingan orang banyak dalam menentukan kepribadian. Lain cerita, jika setan dan uang juga ikut dalam menimbang pilihan kita tadi. Alamat madesu, alias masa depan suram. Definisikan sendiri!

Kamis, 26 Agustus 2010

How to Train Your Dragon (2010)

Director : Dean DeBlois, Chris Sanders
Voice-over : Jay Baruchel, Gerard Butler, Craig Ferguson, America Ferrera, Jonah Hill, Christopher 'McLovin' Mintz-Plasse
Rate : 4/5


Berdongeng dengan menggunakan spesies binatang-binatangan memang kadang menjadi sebuah tolak ukur sebuah animasi. Tapi, dewasa ini parameter tadi seperti tidak diberlakukan lagi mengingat edarnya beberapa film animasi yang menitikfokuskan kepada tampilan asli manusia. Memang masih ada beberapa animasi yang bersifat fabel, tapi tidak banyak seperti dekade belakang. Tahun 2010 saja sudah ada Toy Story 3 dan Despicable Me yang menitikberatkan kepada arsitektur manusia. How to Train Your Dragon yang datang sebelumnya mampu menyesuaikan pertautan manusia dengan hewan secara rapi dan tidak terkesan memaksa.

Dragon memang membawa nyawa baru, baik dari segi animasi, cerita bahkan kingdom binatang yang diajak. Naga, yah memang naga sempat menjadi bahan lucu-lucuan di saga Shrek, tapi di sini naga menjadi tokoh kunci bagaimana kaum viking merubah pola hidup biadabnya menjadi lebih manusiawi. Ceritanya memang agak mudah ditebak, jika tak mau dibilang klise. Seorang lelaki lemah yang akhirnya menjadi pahlawan tak terkira bagi kaumnya. Tak lupa juga yang akhirnya ia mendapat sekuntum cinta dan kepercayaan penuh serta kasih sayang dari ayahnya.

Cerita Dragon memang berasal dari tulisan Cressida Cowell, tapi penulis naskah dan sutradaranya sanggup meramu tampilannya menjadi segar dan tidak terkesan medioker. Apapun yang terjadi, Dragon tetap memiliki sebungkus orisinalitas dari sisi penceritaan tadi. Itu belum ditambah dengan pesan moral yang membuat filmnya jadi lebih kaya dan bergizi. Yang saya tangkap adalah bagaimana kita diajarkan (tapi tidak sedang digurui) bagaimana membuang arogansi dengan sesama makhluk hidup dan tentunya rasa kasih terhadap binatang. Memang agak berlebihan jika pet kita berbentuk hewan penyembur api, tapi cukup dimaklumi juga tentang kehidupan antah berantah kaum viking. Sulih suaranya tidak ada kendala yang berarti, semua aktor mengisi karakternya dengan pas porsi dan tidak berlebihan. Pun musik yang mengalun menambah keasikan menonton.

Bagian favorit saya adalah bagaimana tokoh utama kita menolong dan melatih 'tangkapan'-nya menjadi lunak dan penurut. Chemistry yang terjalin sepanjang pembentukan karakter baru tadi sungguh enak dilihat. Bahkan dari sesi tadi, sang tokoh utama merubah sudut pandangnya terhadap habit dari naga itu sendiri. Lihat betapa lucunya ia menjinakkan para naga setelah adegan pedekate -nya tadi. Ditambah dengan visual yang menggugah, Dragon sanggup mencapai kesuksesan kritikan positif seperti halnya 'kakak tingkat' di Dreamworks Animation yang lain, Kungfu Panda.

Untuk sebuah sajian berkualitas, justifikasi kepada How to Train Your Dragon cukup beralasan. Sisi hiburan yang bisa dinikmati oleh segala umur, tampilan animasi yang tidak seadanya, serta moralitas intelegensia dari ceritanya pun mampu menyempurnakan feature ini. Dan, penantian panjang saya dari bulan Maret hanya untuk menunggu film ini hadir di bioskop, terbalas lunas atau bahkan saya mendapatkan lebih dari yang saya harapkan. Meski tanpa 3D.

How to Train Your Dragon gave me a point of view how to love other creature and taught me that dragon isn't only a wild animal, but funny in other side. Welcome, Toothless!!!!!!

Rabu, 25 Agustus 2010

Shutter Island (2010)

Director : Martin Scorsese
Cast : Leonardo DiCaprio, Mark Ruffalo, Ben Kingsley, Michelle Williams, Max von Sydow, Patricia Clarkson, Jackie Earle Haley
Rate : 4/5


Luar biasa bagusnya. Struktur narasi, cerita, atmosfer yang melingkari seting serta pendewasaan karakter setiap pemainnya menjadi kartu truf bagaimana Shutter Island menjadi sebuah karya yang tak akan lekang dimakan jaman hingga bertahun-tahun ke depan. Martin Scorsese membawa produksinya ini ke arah yang lebih lembab, dalam artian ditemaram kemerindingan tubuh dengan bantuan efek hujan dan terselubung oleh laut lepas pantai. Dan ternyata, bantuan alamiah tadi cukup memberikan kesan mencekam yang mendalam serta memiliki makna kuat di ceritanya sendiri. Scorsese memang tidak membungkus Shutter Island untuk konsumsi para juri festival film dunia, tapi Shutter Island berhasil menorehkan sepak terjang sebagai film yang sanggup menyiram dahaga moviegoer yang haus akan feature bermutu. Khususnya penikmat karya-karya kakek berumur 68 tahun ini.

Premisnya khas novelis Dennis Lehane, yaitu memprosa drama pelik di tengah kepongahan hidup manusa yang seperti ia lukiskan lewat Mystic River maupun Gone Baby Gone dulu. Tetapi, yang berjuang keras membuat Shutter Island yang menjadi lebih hdup adalah gubahan naskah dari Laeta Kalogridis yang mampu mengangkat novelnya menjadi sebuah skrip panjang. Penokohan yang tdak sia-sia, serta beberapa plot sampingan yang dikerjakan dengan sangat brilian. Dialog per dialog tulisannya sedikit banyak mengembangkan semangat aktor untuk berekspresi lebih natural. Scorsese juga meminta bantuan Robert Richardson untuk mengemban tugas dalam pengarahan kamera. Upaya Martin tidak sia-sia, sinematografer pemenang Oscar ini mengoperasikan kameranya mem-frame tiap sudut pulau menjadi mampu berbicara. Kelabu pekat yang dipakai mencerminkan kebatinan tokoh sentralnya sendiri. Dari segi make-up, pengkomposisian musik serta set dekorasi meliputi direksi seni juga memberikan nyawa tersendiri terhadap filmnya.

Scorsese memang mencomot beberapa unsur lawas dalam karya terbarunya ini. Unsur noir dan klasik sekilas terlihat di beberapa bagian. Scorsese mengeksekusi naskah tadi menjadi pendekatan yang lebih menghentak. Ending-nya jauh dari kesan twist murahan. Malah yang ada, kejutan-kejutannya memang diperuntukkan bagi penonton yang sudah merasa lelah duluan akan durasi yang lebar. Itulah, kenapa saya sebut pendewasaan karakter di film ini berhasil ditekankan dengan sangat baik. Bahkan tidak sekedar mendompleng surprise factor dari novelnya sendiri.

Kolaborasi kesekiannya dengan Leonardo DiCaprio patut diangkatkan topi. Leo mencurahkan segenap sinerji aktingnya dengan kerutan dahi, cibiran bibir, serta muka pucat. Jika semua hal itu ada, berarti ia telah bermain dengan sangat baik. Perhatikan saja pesonanya di The Departed, Blood Diamond, The Aviator, atau bahkan What's Eating Gilbert Grape?. Leo tidak mungkin bermain sendrian. Oleh sebab itu, pengkontrakan aktor berbobot semisal Mark Ruffalo, Michelle Williams, Ben Kingsley serta Jackie Earle Haley terbukti tidak mubasir. Semua cast bekerja sama meberikan daya tarik terbaik mereka.

Shutter Island memang bukan Raging Bull, Goodfellas, Taxi Driver ataupun karya memuaskan Scorsese lainnya. Tapi Shutter Island cukup memperpanjang filmografi Scorsese dan kru yang terlibat dalam penggolongan ke kategori luar biasa. Dan sebagai penutup, saya sangat merekomendasikan film yang karakter Leo di sini hampir sama dengan karakter Leo di Inception ini, jika tak mau dibilang mirip.

Sabtu, 21 Agustus 2010

American Beauty (1999)

Director : Sam Mendes
Cast : Kevin Spacey, Annette Bening, Thora Birch, Wes Bentley, Mena Suvari, Chris Cooper
Rate : 5/5 + sekuntum mawar merah


Melirik ke kiri sedikit, kita akan mendapatkan sebuah poster yang bermain ambiguitasi. Sedikit manis tapi sisi menyentilnya sangat terasa. Filmnya sendiri memang tidak menegaskan secara terus terang bagaimana bunga mawar mempersonifikasikan sekelumat kehidupan kompleks rumah tangga di pinggiran Amerika. Mawar merah saya simbolkan sebagai suatu perumpamaan yang menyakitkan. Harum dibaui, sedap dipandang, tapi melukai jika kita sentuh secara gegabah dengan duri tersembunyinya. American Beauty memang disajikan dengan dengungan pelan yang merefleksikan kehidupan nyata sehari-hari warga minim harmonisasi dan simfoni kerukunan.

Seorang pria kantoran yang merasakan kemonotonan hidup baik dalam pekerjaan maupun kehidupan berumah tangga. Istri yang doyan menyeleweng serta anak putri yang rentan dalam komunitas pergaulan abege memang menghantui setiap gerakan Lester Burnham dalam berperilaku. Suatu hari, mawar merah kembali merekah lewat sosok jelita teman si anak, Angela Hayes. Ditambah kedekatan si anak dengan bocah tetangga yang kehidupannya setali tiga uang dengan nuansu rumah Lester. Kecaman yang mencambuk batin Lester perlahan mulai menyeruak ketika satu kejadian yang membuka matanya lebar-lebar serta menyiratkan suatu pandangan lain dalam menjadi suri tauladan bagi keluarganya. Ternyata, kewarasan tadi menimbulkan kesalahpahaman bagi si tetangga yang sudah jenuh bertoleransi dengan hidup penatnya.

Inilah contoh luar biasa yang pantas dijadikan cermin batin dalam menyikapi permasalahan pelik di sekitar kita. Ketidakwajaran logika memang seringkali membawa ke alam yang tidak diharapkan. Tokoh Lester di sini memang mengisaratkan sesosok anak manusia yang tak luput dari kesan tersebut. Bahkan hampir seluruh tokohnya mendapatkan sebuah penyesalan teramat sangat ketika mengetahui apa yang telah diperbuat hanya lah sebuah kekosongan perilaku sesat. Sam Mendes selaku sutradara berjasa besar dalam merangkai para tokoh tadi memasuki sebuah lingkungan asri di luar dan menyesakkan jika sudah melewati pintu masuk. Mendes dengan lugas memaparkan secara terperinci maksud hati tiap karakternya. Dan juga membuat beberpa adegan yang indah sekalipun tersimpan berjuta makna di dalamnya. Berkat goresan pena scriptwriter Alan Ball, American Beauty menjelma menjadi sebuah santapan lezat bagi penikmat film berkelas wahid. Bersama Mendes, Ball memperoleh sebuah Oscar atas jerih payahnya tersebut.

Oscar satu lagi jatuh kepada Kevin Spacey yang memang telah memuntahkan seluruh kinerjanya menjadi seorang ayah yang berada di ambang kehancuran moral. Kekuatan prima sang aktor memang menunjang serangkaian adegan bersifat konklusif. Permainan permisif dari Annette Bening, Chris Cooper, Mena Suvari, Wes Bently, serta Thora Birch mampu berbicara banyak di sepanjang film. Duet Kevin-Suvari, Kevin-Cooper, Kevin-Bening, Bentley-Birch, dan Thora-Suvari diperlihatkan dengan begitu detail dan mendalam. Penggalan duo tadi berparalel menjadi sekumpulan adegan yang bisa membuat kepuasan menonton. Ensemble cast yang nyaris sempurna.

Untuk sebuah debutan, Mendes memang telah disejajarkan ke daerah sutradara yang mampu membuat sastra drama pelik kehidupan rumah tangga. Di sini, selain ada Alan Ball, Mendes juga dibantu sinematografer Conrad Hall yang mem-frame butiran adegannya menjadi lebih acceptable dan beraura manis menyakitkan. Ditambah alunan musik serta lagu yang bersenyawa, American Beauty saya sematkan sebagai produk yang lengkap dalam mensubsidi plot cerita yang terbilang sederhana ini.

My last verdict : American Beauty sangat layak dikonsumsi sebagai tampilan getir yang disimbolkan dengan sangat ironis oleh kecantikan bunga mawar. Beberapa kejutan menarik serta moral lesson yang menghentak batin mampu menunjang karisma film ini lebih jauh. Sisihkan kurang dari 3 jam waktu dalam hidup Anda untuk berperan menjadi saksi betapa mengagumkannya drama penghujung milenium baru ini.

Jumat, 20 Agustus 2010

North Country (2005)

Director : Niki Caro
Cast : Charlize Theron, Frances McDormand, Sean Bean, Richard Jenkins, Sissy Spacek, Jeremy Renner, Woody Harrelson, Michelle Monaghan
Rate : 3/5


Jika sebuah film dengan template based on a true story biasanya akan menjadi sebuah film yang akan menuntun ke sebuah realitas penuh pembelajaran dan metafora kehidupan. Tapi tagline tadi sering kali disalah-gunakan oleh beberapa sineas yang berharap dengan tempelan tadi filmnya akan sedikit berpengaruh dalam perolehan kualitas serta peraihan uang (dalam hal ini dollar). North Country termasuk salah satu film yang embel-embel kisah nyatanya begitu kuat meskipun sebagian besar yang dirangkum lewat film ini adalah sebuah fiktif belaka. Niki Caro sebagai dalangnya jelas harus mempertanggungjawabkan keberaniannya memainkan fakta menjadi sebuah fiksi dengan bantuan akting sekelas Charlize Theron dan Frances McDormand.

Film bermula ketika Josey Aimes yang membawa kedua anaknya menuju kediaman orang tuanya akibat perkelahian tak wajar yang datang sepihak dari suaminya. Dengan latar belakang kehidupan yang tidak mengenakan oleh si Josey, sang ayah yang otoriter menyungsut sebuah ketidaksukaan kepada anaknya sendiri. Mengingat akan menjadi beban ibu bapaknya, lantas Josey mencoba bekerja di sebuah penambangan atas bantuan Glory. Dikarenakan mining teritory tersebut penuh dengan kaum adam, maka penindasan romusha diberlakukan kepada semua pekerja wanita. Hingga suatu hari, Josey tak mau tinggal diam dan membawa ketidakberesan ini ke meja hijau atas dukungan pengacara idaman, Bill White. Dari openingn-ya, kita telah dibawa Niki Caro ke seting lembab dingin yang mencerminkan pesona para pemainnya.

Tidak diragukan lagi, North Country memang telah terbungkus oleh derupan akting memukau yang datang dari para pemainnya. Theron yang kedapatan tokoh ibu pekerja keras memang mewujudkan watak tokohnya dengan sangat baik. Begitu pula dengan McDormand yang bisa memberikan nyawa di saat pesakitannya. Duo aktris tadi semakin bermain gemilang dengan sokongan dari Sean Bean, Jeremy Renner, Woody Harrelson, Richard Jenkins serta Sissy Spacek. Kalau ada yang harus dikritik di wilayah ini hanya cast untuk peran anak laki-laki Josey. Kesan berontak dan kesinisan kepada ibunya tidak ditransfer dengan baik sehingga membuat performa Theron menjadi satu-satunya penopang adegan yang dimaksud.


North Country memang bermuara ke pendangkalan budi pekerti di wilayah kecil Minnesota tahun 80-an oleh para buruh tambang. Pemaklumatan adegan keji dan menjijikan memang diberikan NIki tanpa ancang-ancang sekaligus provokatif. Lihat saja betapa kejamnya ketika Josey hendak diperlakukan tidak menyenangkan serta pelecehan yang diterima para pekerja kaum hawa. Saya bahkan tidak berkutik sedikitpun ketika menonton adegan 'kotor' tersebut. Caro memang memberikan ruang kepada para pemainnya untuk berimprovisasi agar klimaks adegan tidak terlihat canggung. Terbukti saat adegan di court room yang menyisakan setetes air mata yang mengartikan sebuah pengorbanan akan mendapatkan tujuan yang memuaskan.

Tapi, bukan berarti North Country bersih kritik. Penyampaian via adegan berani tadi malah sedikit eksplisit dan bersifat berlebihan. Jika pada kenyataannya, para wanita dipertanyakan keberadaannya di wilayah tersebut, bukan berarti para pria menjadi seorang raja yang tak kenal belas ampun. Bahkan sosok yang diharapkan menjadi pahlawan kesiangan pun tidak berkesan apa-apan. Dan lagi adalah penggambaran masa lalu kelam yang dialami Josey. Josey muda terlihat seperti gadis murahan yang rela memberi apa saja demi kepuasan tubuh. Tidak ada sikap penyelamatan diri yang berarti. Niki Caro harus disalahkan dalam porsi tersebut.

Tujuan belajar dari kisah nyata adalah menjadi wadah perenungan siapa saja yang menjadi saksi hidup dan bisu. Pendomplengan sifat naiv berkharisma dari tubuh tegap lelaki bahkan suka melenceng dengan kodratnya yang harus melindungi kaum lemah, terutama wanita. North Country mewakili teriakan massa yang haus akan hak asasi sekalipun gender tetap menjadi sebuah yang sensitif untuk diungkap. Bahkan seusai menonton ini, kita bisa mendapat suatu petikan akan maknanya kebersamaan yang jika kita telusuri akan membenang menjadi satu kesatuan yang sedap dipandang dan dirasa akibatnya.

Rabu, 18 Agustus 2010

Alice in Wonderland (2010)

Director : Tim Burton
Cast : Mia Wasikowska, Johnny Depp, Helena Bonham Carter, Anna Hathaway
Voice-over : Michael Sheen, Alan Rickman, Stephen Fry, Imelda Stantoun, Christopher Lee
Rate : 3,5/5


Duet maut Tim Burton-Johnny Depp memang telah menjadi sebuah rangkaian ajaib yang mampu mensukseskan film-film kolaborasi mereka. Bahkan tak jarang memberikan sumbangsih di ajang-ajang perfilman dunia. Meski film mereka berdua bergaya narsis serta tone yang berhawa unik serta 'aneh', tapi itu semua masih mampu untuk mengangkat martabat keduanya menjadi sineas dan aktor yang jempolan. Sodoran pujian juga tak lepas dari perjalanan persahabatan mereka. Mulai dari Edward Scissorshand yang ajaib bin aneh, warna-warni Charlie and the Chocolate Factory serta yang paling mencekam semisal Sweeney Tood. Gaya nyentrik keduanya secara tidak langsung berjasa dalam menghidupkan serentetan peran-peran di setiap film mereka. Seperti sudah bersenyawa, Burton kembali mengajak Depp dalam menghidupkan versi individual Alice in Wonderland.

Alice menganggap dirinya mengalami mimpi tak biasa yang menghinggapi setiap tidurnya, ditambah lagi dengan ketegasan pribadi yang datang dari ayahnya. Di penghujung pertunangannya dengan saudagar kaya-raya, Alice malah memilih opsi lain dengan menguntit seekor kelinci yang terjerembab ke dalam dunia linear bawah tanah. Setiba di sana, Alice malah mendapatkan wahana yang jauh lebih unik. Beragam jenis makhluk ajaib tersebar di sepanjang wonderland. Tak disangka, ternyata Alice adalah the chosen one yang harus menyelamatkan kaum wonderland dari serangan si jahat Red Queen. Dengan bantuan White Queen serta Mad Hatter yang memang benar-benar sableng, Alice mencoba berpedang ria hingga klimaks berkata lain.

Potensi Alice in Wonderland terpecah menjadi dua dimensi. Satu sisi, film ini menyajikan sesuatu yang khas ke-Burton-annya yang menyebabkan para fans akan sorak-bergembira dengan keadaan dunia imajiner ini. Tetapi di sisi lain, tampilan yang gelap-menakutkan serta taburan naskah-yang-tak-mampu-menuju-berkualitas, menyebabkan Alice in Wonderland jatuh bebas menjadi film bagus saja. Tapi di mata saya, Burton telah sukses membawa dunia lain dari sudut pandang Alice yang mencerminkan kekhasannya tadi. Alice in Wonderland jelas bertaji taring dan memiliki unsur hiburan yang berlipat-lipat. Sisi mengegangkan dan ketertarikan akan para tokohnya menjadi poin plus lain yang patut diapresiasikan. Hingga mendekati ending yang terasa sekenanya, tapi film ini telah menyuguhkan hal spesial lain sebelumnya.

Mia Wasikowska sebagai amatir di film ini ternyata sanggup bermain enjoy. Ketidakcanggungannya terlihat dari gestur akting yang luwes. Johnny Depp main seadanya, maksudnya perannya di sini tak ada bedanya dengan tipe film Burton serupa. Yang cukup menarik perhatian adalah permainan 'gila' dari Anna Hathaway dan Helena Bonham Carter. Anna yang meberikan aksen lain di bidangnya memberikan tampilan White Queen yang unik dan lucu. Sedangkan Helena, dia sangat mengagumkan. Setiap kemunculan Red Queen di layar terasa menyegarkan berkat akting luar biasanya. Tak salah peran ini jatuh kepadanya, di luar relationship-nya sebagai istri si sineas. Sinematografi film ini sangat menyegarkan mata, Dariusz Wolski telah bekerja keras mengarahkan kamera dengan sewajarnya. Dibantu juga oleh Danny Elfman yang mengkomposisikan musiknya menjadi padupadan di telinga.

Sebungkus paket hiburan, Alice in Wonderland memang ditujukan ke arah demikian. Tapi untuk menjadi sebuah masterpiece, lobang yang ada masih harus ditutupi. Terlepas dengan banjirnya uang yang didapat, Burton memepersembahkan sebuah hiburan yang pure berisi keasikan berdongeng dengan sisipan joke ringan bagi penggemarnya.Kegoyahannya di feature ini semoga terobati di karya mereka (Burton-Johnny) selanjutnya.

Selasa, 17 Agustus 2010

Happy Feet (2006)

Director : George Miller
Voice-over : Elijah Wood, Brittany Murphy, Nicole Kidman, Hugh Jackman, Robin Williams, Hugo Weaving
Rate : 3,5/5


Happy Feet adalah sebuah film edaran 2006 yang menceritakan tentang seekor anak penguin yang ternyata memiliki keunikan dibanding yang lain. Mumble, ternyata tak ahli bernyayi (seperti penguin yang lain) melainkan mampu berdansa ria yang telah muncul seketika setelah ia menetas dari telurnya. Keanehan ini ternyata memberikan dampak 'aneh' oleh tetua di daerahnya dan membuat kecemasan tiada tara di benak kedua orang tuanya. Kesukaannya akhirnya harus dikubur sementara ketika ia diharuskan untuk membuktikan perkataannya tentang sesuatu asing yang ia temukan di bongkahan es dalam dinginnya laut. Perjalanan tegang-mengasikkan itu berujung pada suatu ketakutan masyarakat penguin yang berlanjut dengan sikap apatis dari kabinet dunia.

Setelah Pixar memonopoli Oscar dengan serbuan film animasinya, ternyata masih ada karya dari belahan dunia lain yang mampu unjuk gigi dengan tema klise tapi membumi ini. Sosok binatang spesialis benua dingin ini memang acap kali memberikan keuntungan tersendiri jika difilmkan. Lihat betapa berdigdayanya March of the Penguins di perolehan box office serta setumpuk pujian positif yang tertuju kepada film ini. Hingga hadir Surf's Up yang semi-doku dan segerombolan penguin dari kandang Madagascar. Di Happy Feet sendiri, penonjolan burung yang tidak bisa terbang ini memang sangat pas untuk mengumbar isu dunia betapa pentingnya menjaga keanekaragaman fauna. Karakteristik yang beragam memang diproses kreatornya dengan begitu down-to-earth. Bagaimana kita menghadapi keadaan yang tidak seinmbang di lingkungan sekitar dan upaya penyelematan dunia dalam bentuk sekecil apapun.

Happy Feet diuntungkan dengan berisinya beberapa lagu yang enak didengar bahkan sanggup memberikan porsi lebih kepada setiap adegan-adegannya. Ditambah semua jajaran pengisi suaranya yang menyumbang langsung untuk bersenandung ria sepanjang film. Brittany Murphy, Nicole Kidman, Hugh Jackman, Hugo Weaving serta si lucu Robin Williams sanggup menghidupkan tiap karakternya tanpa cela.

Hal lain yang mungkin perlu dilihat adalah penggunaan sistem campuran live-action di film ini. Sistem itu bukan semacam Looney Tunes atau Scooby Doo misalnya, tapi lebih pemasukan unsur manusia asli yang berbeda frame dengan si animasi yang bersangkutan. Cara itu saya nilai cukup mempertegas tujuan utama film ini yang mana dengan itu penyampaian pesannya mampu tertuju langsung kepada penonton. Sifat rakus dan serba merasa kekurangan yang diperlihatakan secara gamblang memang mencerminkan begitulah sikap asli manusia. Dan, melalui Happy Feet, George Miller sebagai si pembesut lantaslah bersenang hati. Dunia dongeng layaknya di Babe serta dramatisasi berlebihan seperti di Lorenzo's Oil memang diterjemahkan dengan sangat baik.

Sayangnya, kesempurnaan tadi harus dibolongi oleh kesemrawutan perjalan Mumble yang terkesan dipaksakan dramatis. Pertemuannya dengan para penguin sombreno meski menarik dan mengundang tawa malah memperlihatkan ketidakseriusan di segi naskah. Apalagi pada saat melawan duo paus yang condong menjadi membosankan.

Di luar sisi positif-negatif yang terkandung di Happy Feet, piala Oscar sudah cukup memberikan bukti jika film ini adalah menu wajib bagi penyuka film berkualitas dan penggemar hewan ovipar ini pada khususnya. Kendati serupa-tak-sama dengan animasi lain, setidaknya Happy Feet memperlihatkan gambaran lain betapa makhluk hidup itu juga memiliki hak asasi yang sama untuk melangsungkan kehidupan mereka. Satu lagi, Happy Feet ternyata bisa mencoreng gemerlap body Cars di panggung Oscar 2007 kemarin.

Jumat, 13 Agustus 2010

The Expendables (2010)

Director : Sylvester Stallone
Cast : Sly dan teman-teman berbodi serupa
Rate : 2/5 + masing-masing barbel 10 kg



Dahulu kala, anak emas Hollywood, Sylvester Stallone lahir kala ia menorehkan tinta naskahnya menjadi sebuah film bintang Oscar. Rocky seakan menjadi sebuah pahlawan baru bagi Amerika, dan sejak itu pula nama Sly melambung ke angkasa dan dibanjiri orderan film oleh sineas lokal. Tapi sialnya, kepopuleritasan tidak menjadi jaminan sebuah film akan menjadi bermutu. Terbukti Stallone sering kali memakan buah simalakama dengan meneken kontrak untuk film kacangan. Untunglah nasib Sly masih bisa terselamatkan dengan kehadiran Rambo, pahlawan era baru untuk bangsanya. Dan sekarang, seperti ingin bernostalgia serta memamerkan kembali ototnya, Sly menetaskan produk andalannya di tahun 2010 ini, The Expendables.

6 pejantan tangguh yang menamakan diri mereka The Expendables adalah sebuah gerombolan kelas berat yang dikhususkan untuk menumpas kejahatan dengan cara baku hantam. Suatu ketika, mereka diberi pekerjaan untuk menghabisi oknum di sebuah pulau. Dengan bantuan seorang gadis luar biasa seksi (bahkan di mata saya sedikit seperti Megan Fox) dan penyamaran yang gak-asik-sama-sekali, The Expendables menyingsingkan lengan baju dan bertaruh nyawa demi kebaikan (dan upah kerja). Kondisi dalam The Expendables juga tidak lurus-lurus saja, karena ada seorang yang ternyata berlainan misi ditambah tukang tato doyan perempuan yang cukup sangar dengan perut gembulnya.

Film ini telah memuntahkan semua aspek yang diidamkan untuk menjadi film dengan target penonton lelaki dewasa. Jagoan-jagoan hobi fitnes yang tangguh, action yang meledak-ledak, cerita perusak nalar serta ada sisipan wanita cantik dan seksi. Hal tadi hanya sekedar klise yang tak tuntas dipertanggungjawabkan Sly yang membuat The Expendables klemar-klemer di mata saya.

Cerita. Cobaan terberat dalam mencerna film ini adalah dari segi cerita dan penggodokan naskahnya. Entah apa yang sedang Sly pikirkan dengan banyolan dialog yang tidak jelas sebab akibatnya. Malah lagi cerita tadi diperparah dengan pengeditan adegan yang membuat otak lelah. Layaknya bajing, adegan The Expendables juga melompat-lompat sekena hatinya. Kultur B-movie yang menjustifikasikan jika film ini memang di sini stratanya, malah menyebabkan kastarisasi tadi menjadi sedikit simpang siur. Stallone melupakan hal klimaks untuk sebuah film pemicu adrenalin dengan menghadirkan spot-spot adegan pengguncang darah dan jantung. Adu jotosnya pun tidak mengena di hati kendati Jet Li sudah memperagakan martial art-nya dengan cukup luwes. Sangat disayangkan, jika harus menerima kenyataan bahwa pengisi film ini adalah teman-teman seangkatan yang memang lebih menonjolkan otot daripada otak.

Efek. Mungkin hal ini tidak terlalu dititikberatkan dengan logika penonton, tapi apa yang disajikan lewat The Expendables seperti menyaksikan sebuah gimi konsol yang dikomputerisasi ala kadarnya. Tidak ada seru-serunya sama sekali, bahkan condong ke membosankan. Setali tiga uang dengan joke-joke basi yang keluar dari rongga mulut para aktor. Coba kalian semua belajar dulu sama Chris Rock, atau mungkin masuk ke sanggar Srimulat? Yap, mereka memang bukan aktor komedi, tapi tidak ada salahnya bukan belajar dialek lucu untuk memancing tawa penonton? Tapi untunglah, di tengah kegersangan parade akting, Eric Roberts hadir bak oase di saat genting. Perannya sebagai Monroe jelas tertangkap di rangka tulang mukanya.

Tong kosong nyaring bunyinya, idioma yang sangat cocok untuk dicapkan kepada The Expendables. Salah satu film musim panas yang sangat mengecewakan. Walaupun sudah ada dua nominator Oscar, ternyata hal itu tidak membantu apa-apa. Khusus untuk Slyvester Stallone, sudah saatnya Anda memberikan tongkat estafet masa keemasan kepada yang lebih pantas. Dan, silahkan Anda tidur saja di ranjang untuk beristirahat dan meregangkan otot yang sudah seperti kawat itu.

Rabu, 11 Agustus 2010

Up (2009)

Director : Pete Doctor
Voice-over : Edward Asner, Christopher Plummer, Jordan Nagai
Rate : 4/5


Lagi-lagi Pixar. Studio yang selalu menghasilkan dongeng bermutu dengan bantuan efek komputer kelas canggih. Tahun lalu, Pixar kembali menyapa penggemarnya dengan perwakilan film animasi bertajuk Up. Diharapkan dapat menyamai kualitas produk Pixar sebelumnya, yang ada malah Up menjadi primadona di ajang Oscar dengan mengantongi 2 piala serta menerima tongkat estafet dari Beauty and the Beast sebagai animasi yang berhasil masuk di kategori Best Picture.

Musik yang mengalun di pembuka film telah menegaskan jika film ini akan bermuara ke drama yang lebih dalam. Tanpa mengesampingkan sisi komersial, materi yang tersaji sudah cukup ampuh untuk menarik minat penonton seluruh umur. Cakupan yang universal memang sudah kadung pas hingga mencapai adegan klimaks sekalipun. Satu sisi, anak-anak akan menyukai film ini karena tutur petualangannya serta berbagai karakter unik di sepanjang feature. Dan di sisi lain, para penonton berumur (baca : remaja-dewasa) akan terbuai dengan pendiktean narasi yang begitu mengasikkan, menegangkan serta penuh dengan pembelajaran moral. Komputerisasi yang terkandung lewat Up memang terlihat sempurna, halus dan lembut dalam tata warna. Meski tone ruang lingkup setting yang terkesan mustahil, tapi si kreator sudah mengantisipasinya dengan berbagai sentilan hidup.

Hal mustahil yang saya singgung tadi adalah bagaimana mungkin perang angkasa yang mereka lakukan begitu luwes tanpa ada kesan takut yang mendalam. Anak kecil bernama Russell tadi begitu menikmati kondisi tadi. Kendati dia seorang anak pemberani dnegan berbagai medali yang ia dapatkan, tidak serta merta juga ia jadi sangat menikmati penerawangan di atas langit. Belum lagi ditambah dengan interval umur antara si kakek dan idolanya. Mungkin, Pete Doctor terlalu bersemangat dengan setelan animasi dan ceriteranya hingga melencengkan hal kecil yang fatal.

Tapi untunglah, kesimpang-siuran tadi masih bisa kita maklumi dengan iringan memukau dari tangan Michael Giacchino. Sempat mencicip nominasi lewat Ratatouille, di sini Giacchino jor-joran dalam mengilustrasikan gubahannya. Poin plus lain yang mesti dinilai adalah pengisi suara. Walaupun tidak ada nama populer, tapi kehadiran voice-over-nya telah bersenyawa lebih dari diharapkan.

Satu hal yang patut dipuji adalah bagaimana penggambaran Pete untuk skala air terjun yang megah sekaligus sebagai tujuan puncak melancongnya si kakek. Sebagai penonton, saya kagum dengan adanya fatamorgana kabut yang dibuat sedemikian indah dan apiknya. Tak lupa pula adalah spesies langka yang dibentuk unik dan hobi yang tak biasa, hingga menimbulkan tali pertemanan yang erat di antara mereka semua.

Up memang sekedar pengisi filmografi Pixar untuk lini tahun 2009, tapi makna filmnya jauh dari itu. Up telah terbukti berhasi mensejajarkan diri menjadi salah satu drama kuat di Oscar tahun kemarin. Melalui Up, satu hal yang bisa saya petik adalah masalah kerja keras, tanggung jawab dan pantang menyerah. Terlepas dari kekeliruan di berbagai aspek nalar, Up tetap memberikan panorama hidup yang menjadi bekal budi pekerti bagi kita yang menontonnya.

Selasa, 10 Agustus 2010

Planet 51 (2009)

Director : Jorge Blanco
Voice-over : Dwayne Johnson, Sean William Scott, Jessica Biel, Justin Long, Gary Oldman, John Cleese
Rate : 2,5/5



Apa jadinya jika sebuah planet berpenghuni alien didatangi manusia? Lalu manusia itu dianggap sebagai alien oleh para alien itu. Anda bingung? Tapi itulah gambaran singkat tentang apa yang akan dipertontonkan sutradaranya lewat Planet 51. Mencomot pendekatan film bertema serupa (tapi idenya bisa dibilang sedikit orisinil), tapi Planet 51 malah lebih 'aman'. Mungkin karena tujuan awal film ini memang bersifat animasi yang mampu menyenangkan segala pihak.

Struktur tokoh hijau di film ini saya nilai sedikit menyerempet ke saga Shrek. Mereka layaknya kaum oger, tak akan menggangu orang lain, tapi jangan sekali-sekali mengganggu ketentraman hidupnya. Terlihat ketika si manusia tadi menginjakkan ke wilayah mereka tercinta. Bak kerasukan setan, para tetua planet hijau ini beringasan untuk segera melenyapkannya. Planet 51 saya nilai juga serupa seperti Wall-E, yang terbayang kuat oleh tokoh robot Roover. Tampilan, gerak-gerik serta kebiasaan aneh yang sangat Wall-E. Mungkin tidak 100% persen mirip, tapi keberadaanya jadi tidak begitu menggemaskan. Mungkin itu hanya perasaan saya, tapi serius, sedikit plagiatisme (apalagi di dunia animasi) sangat sungguh keterlaluan.

Parodi beberapa film terkenal cukup sukses disentuh. Seperti adegan bermain di bawah hujan yang serupa tak sama Singin' in the Rain. Cukup menggelitik, dan sedikit membuat tersenyum. Tapi sayang sekali, momentum tadi tidak disisipi joke-joke yang bergizi. Seperti kurang vitamin, lelucon yang terlontar cuma seadanya. Ada beberapa mungkin yang mengena, tapi tidak sedikit pula yang membuat melongo. Jadi, untuk urusan joking sequences, saya nilai gagal.

Satu lagi yang saya ingin pertegas adalah aspek percintaan yang terasa dipaksakan. Kalo tujuan kreator hanya untuk mempermanis film, hal itu cukup berhasil. Tapi jika hanya menjadi bagian penting film itu sendiri, teritori percintaan tadi terasa menyebalkan, kalau tak boleh dibilang murahan. Sebab, dari sisi ini saya menilai jika tuturan animasinya jadi sedikit melenceng dari genre semua-umur menjadi remaja. Pengisi suara tidak menemukan kendala yang cukup signifikan, kendati agak terganggu juga dengan ketidaksamaan ritme mulut dan dialog.

Tapi sanjungan sedalam-dalamnya saya harus sematkan kepada penata musik yang handal dalam mengarasemen adegan menjadi lebih klimaks. Mulai dari opening dengan lagu Lollypop-nya, hingga penghujung film yang dipenuhi dengan score penuh semangat, mengacu tensi dan memperkuat adegan itu sendiri. Kekaguman saya juga termasuk keunikan negara alien itu sendiri. Jika Anda menontonnya langsung, pasti tau apa saja unique things tersebut.

Planet 51, sebuah animasi yang masih tertempel kesan 'meniru' tapi juga diramu sekenanya. Mungkin hal positif lain yang bisa diperas dari film ini adalah bagaimana film ini mengajarkan untuk tidak terlalu cepat mengambil tindakan. Apalagi tindakan bodoh, dan condong mencelakai banyak orang. Berfikirlah sehat, cerna apa yang sedang terjadi, tumpahkan dalam bentuk keterpujian, kasih sayang, dan sikap keprihatinan sesama.

Minggu, 08 Agustus 2010

Gagal berkunjung ke Planet 51

Kemarin, Sabtu, 7 Agustus 2010, berniat ingin bermalas-malasan di kamar tercinta terpaksa harus dipupuskan seketika saat I Walk the Line dari handphone gw bersenandung. Ajakan menonton film gratis di depan mata. Manalagi ada sebuah film yang belum ditonton, yaitu Planet 51. Menunggu jam 3, ajakan nonton itu, gw mengisinya dengan tidur-tiduran disambi baca novel Negeri van Oranje.

Mendekati jam dinding berdentang tiga kali, di otak gw tiba-tiba terbesit ide konyol. Bagaimana kalo gw mencoba ajak keponakan gw buat nyicipin studio bioskop sedari dini. Tololnya, gw gak ngeh kalo umurnya masih 2,5 tahun. Umur segitu mana sanggup buat berlama-lama dalam ruangan gelap kecuali dia tertidur saat itu. Idiom itu gw buang jauh-jauh dan akhirnya menggandeng sang keponakan tercinta menuju Palembang Indah Mall, tempat bioskop itu menetap.

Pukul 4 sampai di sana, tiket sudah dibeli. Berhubung mengajak bocah, sudah jelas perut tercintanya harus dimanja. Hinggaplah kami (gw, ponakan gw, sama temen yang ngasih gratisan) ke resto untuk sekedar minum es. Apa mau dikata, dengan gerak aktifnya, keponakan gw tidak mau duduk dan akhirnya berdiri saja di bangku yang telah disediakan. Itu belum termasuk saat dia makan es dengan lahapnya dan menyisakan secercah noda di bajunya. Mengindahkan pemikiran om-nya jika baju itu masih akan dipakai buat beberapa jam ke depan. Tragis, mulai saat itu.

Keluarlah kami dari resto itu, dan gw mengharuskan menggendong tuh bocah sepanjang perjalanan. Tak jauh melangkah, ponakan gw merengek menyebut ayon (baca : balon) yang sempat dilihatnya. Dengan beragam tipu muslihat dan berbohong kecil (untuk kebaikan gw juga sih....) akhirnya bocah putih itu diem juga. Lanjut ke arena permainan. Keatraktifan tuh anak gak bisa dibendung lagi. Hingga gw aja yang kewalahan ngeladeni hingga keringat gw gak tahan buat mengucur deras.

Adegan puncak itu tiba. Setelah kami masuk ke studio 6 dan menikmati dengan santai Planet 51, ponakan gw semula adem aye. Dengan tangan kiri memegang Cha-Cha dan tangan kiri buat mencomot ke mulutnya, ponakan gw bersandar ke dada gw. Gw tenang ketika itu, kesempatan nonton sampe abis akhirnya terkabulkan. Tapi, apa mau dikata, tak lama kemudian bocah itu meraung juga. Ada tiga opsi : dia ketakutan dengan sosok alien di kartun itu, dia kedinginan, atau dia memang kebosenan. Gw pilih opsi 3 buat nenangin hati gw sendiri.

Keluarlah kami dengan lesu di raut muka gw dan temen gw. Iming-iming balon tadi akhirnya meredakan isakan tangis si bocah. Setelah semua urusan kelar, gw dan ponakan gw pun dengan pongah menyusuri jalan pulang setapak-demi setapak.. Sesampai di rumah, gw cuma bisa mengurut lengan kiri gw yang rasanya mau copot saat itu juga, dan mengelus-ngelus dompet akan betapa mengurasnya anak kecil satu ini. Tapi tak apalah, yang penting gw bisa belajar banyak hal dari kejadian ini.

Kesimpulannya, menyenangkan hati bocah memang tidak disalahkan bahkan sangat dianjurkan. Tapi mesti tau kondisi waktu, emosi serta dompet. Salah-salah, saat ponakan kita lagi berada di tingkat menyebalkan, bisa-bisa emosi kemarahan kita gak bisa terkontrol. Gw yang termasuk salah persepsi sebelumnya memang harus bilang, mengajak bocah jauh lebih menghabiskan rupiah. :)

Sabtu, 07 Agustus 2010

There Will Be Blood (2007)


Director : Paul Thomas Anderson
Cast : Daniel Day-Lewis, Paul Dano, Randall Carver
Rate : 5/5 + sertifikat luar biasa!
Daniel Day-Lewis adalah salah satu aktor yang selalu tampil prima di setiap kesempatan. Sepanjang karir filmnya, hampir rata-rata selalu menorehkan pujian khusus kepada performa gerak aktingnya. Kemampuannya untuk menghayati karakter tokohnya patut dikasih apresiasi yang setinggi-tingginya. Dengan modal satu Oscar sebelumnya lewat My Left Foot, Paul Thomas Anderson mengontrak Daniel untuk menjadi seorang Daniel. Talenta memang tidak bisa disembunyikan, lewat There Will Be Blood, Daniel si tukang minyak berhasil memberi satu patung Oscar lagi kepada Daniel.

Di pelataran gersang Meksiko tahun 1898. Seorang buruh, Daniel Palinview, yang menemukan tambang minyak dan sekejab mata menjadikannya seorang yang kaya raya. Kehidupannya memang tidak selalu berjalan lurus. Pertama, karena ada persengketaan tanah yang dimaksudkan Daniel untuk memperluas tambangnya serta kehidupannya yang penuh dosa dan dihimpit oleh kekangan seorang pendeta muda. Tatkala nasib berkata lain, anak adopsinya lebih memilih menjadi makhluk yang lebih sosial ketimbang mengikuti jejak sang ayah yang tak jelas ke mana amal budinya terbuang.

Menit-menit awal yang memberikan keheningan, kesan menakutkan serta kegigihan di sebuah sumur gelap pekat. Tak disangka, adegan yang cenderung membosankan akan berlanjut ke sekuens yang lebih dari sekedar cerita penambangan. Kendati durasi yang melelahkan, tapi There Will Be Blood berhasil disajikan dengan penuh semangat dan antisipasi akan sebuah karya yang memikat. Jangan biarkan mata Anda berpaling sedikitpun, karena film ini tak akan berhenti membuat Anda bergidik ketakutan, kagum akan kesempurnaan sinematografi dari tangan seorang Robert Elswit, serta kaget tentang perubahan watak. Oke, watak Daniel Plainview memang telah diperlihatkan dengan sangat terbuka.  Seperti minyak yang licin tapi kuat, tingkah hidup Daniel pun begitu. Siasat gila harta tapi sulit melebur dengan ketentraman jiwa, layaknya minyak yang susah menyatu dengan air. Manusia rakus, kejam, tak berperikemanusiaan tetapi memiliki jiwa teduh bagaimana jika semuanya berbanding terbalik dengan kenyataan.

Dan, aktor yang bertanggung jawab atas memukaunya film ini adalah Daniel Day-Lewis. Transformasinya memang menyisakan sehelai bulu roma yang tak kunjung tertidur. Dari sorotan mata, seringai senyum hingga ketika ia berucap pun, terpancar sepotong kengerian betapa manusia ini sungguh menusuk. Dengan campuran Bill Cutting yang sama biadab-nya, Daniel di tangan Daniel seperti satu kesatuan yang tak terbantahkan. Cast sempurna ini dibimbing oleh penampilan ganda menawan dari Paul Dano, baik itu sebagai makelar ataupun seorang pendeta sekalipun. Dano berhasil menunjukkan ketajian dan keberanian akan duetnya bersama Daniel. Terbukti saat adegan pertumpahan darah antara keduanya berlalu dan memaku memori untuk selalu mengingatnya.

Seperti yang disinggung tadi, film ini sangat menyegarkan mata akibat sorotan kamera yang indah. Sangat membantu menstabilkan jiwa Daniel yang labil. Terima kasih kepada PTA yang usaha kerasnya di sini berhasil memberikan film yang mampu berbicara banyak. Mutu nomor satu yang tak boleh dikesampingkan. PTA sukses mengarahkan bakat Daniel ke strata tinggi serta untuk dirinya sendiri sebagai salah satu sutradara yang selalu menjaga kualitas setiap filmnya. Dengan filmografi semisal Boogie Nights, Magnolia, dan Punch Drunk Love, There Will Be Blood sebatas penyempurnaan yang berharga bagi karirnya. Perfecto!

Untuk film yang mengalami literaturisasi dari novel bertajuk Oil, There Will Be Blood memang bukan sekedar film. Pembelajaran akan dampak kebusukan hati serta kerakusan harta memang disodorkan PTA dengan sangat terbuka. Sehingga penonton pun bisa menaturalisasi sebagaimana hidup yang sewajarnya. Lima bintang yang layak disematkan! Happy watching!

by: Aditya Saputra

Jumat, 06 Agustus 2010

Wall-E (2008)

Director : Andrew Stantoun
Voive-over : Tonton saja visualnya
Rate : 4,5/5


Tuhan itu seperti memberi segepok otak cerdas ke atas genteng gedung Pixar. Otak itu tumpah ruah dan melumer ke seluruh kepada para redaktur Pixar. Dan menyeraplah ke dalam kepala mereka tadi... Saya memang lagi berkhayal tentang apa saja isi otak para kru Pixar hingga bisa menghasilkan maha karya setiap tahunnya. Ide segar nan kreatif selalu saja hadir dengan sajian animasi yang tak kalah gemilang. Lelah rasanya jika harus menjunjung Pixar setinggi langit terus-menerus. Mari saya sedikit berkomentar (atau menyanjung) sebuah robot lusuh yang memiliki hati bak malaikat pemberi rejeki.

Betapa tidak, robot yang senantiasa mengurusi segala keperluan manusia harus hidup sendiri akibat suatu bencana yang mengakibatkan Bumi luluh lantak dan tidak terkontrol masa depannya. Tinggal Wall-E, robot yang menjustifikasikan jika hal baik itu masih ada sedikit terpendam di planet ketiga dari Tata Surya ini. Wall-E ternyata kedatangan tamu sebuah robot (digenderkan sebagai robot perempuan) bernama Eve yang diutus mencari zat hijau. Eve got it, came home to the galaxy, and.........Wall-E followed it. Di pesawat turbo layaknya sebuah hotel megah, petualangan seru, lincah, menggilitik, menghibur serta mendidik pun dimulai.

20 menit awal, film ini nyaris tak berdesibel. Pledoi akan membosankannya film ini pupus saat kita diberi sebuah visual yang kendati semrawut tapi sungguh realistis. Animasi kelas satu, Pixar memang tidak main-main untuk 'meng-ultraviolet-kan' robot ini menjadi lebih hidup. Dengan hanya ditemani seekor kecoak (saya asumsikan robot JUGA!!!), perjalanan mengkotakkan sampah menjadi lebih bersahabat. Keheterogenan tema di film ini memang bisa dibagi-bagi. Ada kalanya adventure menggemparkan bagaimana penyelamatan Bumi, cinta bisu dari kedua robot, serta plot kemanusiaan yang sangat kental sekali sepanjang filmnya.

Tema yang menghantam otak kita agar tidak tamak, malas dan asal-asalan terpatri kuat. Pembelajaran yang sangat berkesan, dan akan awet hingga berpuluh-puluh tahun kemudian. Sikap manusia sekarang yang ingin serba praktis dan mudah dikonsumsi memang mencerminkan peradaban yang menyesatkan. Manusia di film ini (dan ditujukan kepada kita) hanya memegang paham individualisme yang mana mau mementingkan urusan pribadi dengan mengesampingkan hal fatal. Setelah menonton film ini, saya yakin Anda juga merasa sedih dengan keadaan tanah gersang tanpa klorofil sedikitpun itu . Untunglah ending film ini memberi pencerahan dan sedikit harapan jika manusia tidak rakus-rakus amat. Diiringi gubahan musik khas Thomas Newman, feature ini tambah asik untuk diikuti. Menyentuh, dan menghanyutkan.

Wall-E berhasil disematkan berbagai list film dunia menjadi yang terbaik. Tidak salah, Wall-E punya segala-galanya. Bahkan mungkin ini film animasi terbaik yang pernah ada (selain Ratatouille). Jadi, kemenangannya atas Best Animated di seri tahunan Oscar sangat beralasan.

Akhir kata, nikmatilah Wall-E sebagaimana Anda menerima peneduhan dari guru biologi akan bahayanya kerakusan akan alam. Nikmatilah Wall-E sebagaimana Anda butuh cerita yang orisinil lagi penyajian yang luar biasa menarik. Dan nikmatilah Wall-E sebagai perpustakaan ilmiah dengan cinta kasih di dalamnya. Nikmatilah Wall-E....

Rabu, 04 Agustus 2010

The Last Airbender (2010)

Director : M. Night Shyamalan
Cast : Noah Ringer, Dev Patel, Nicola Peltz, Jackson Rathbone, dan para ekstras dari India
Rate : 1,5/5


Sebulan sebelum film ini rilis di kota saya, gembor-gembor akan busuknya film ini sudah berdengung keras. Berhubung saya tipe penonton-yang-gak-peduli-penilaian-orang-lain dan juga pecinta serial kartunnya, maka The Last Airbender saya tonton juga hari ini. Tapi kesan was-was memang masih menyertai saya mengingat arsitek yang akan membangun Avatar versi film ini adalah si pendongeng gagal lewat Lady in the Water dan si perusak logika lewat The Happening. Manusia itu bernama Manoj Night Shyamalan. Dengan langkah yang tak mantap, pertarungan mata dan layar studio pun saya mulai...

Ceritanya tak jauh beda dengan serialnya sendiri, dua kutub dari Negara Air menemukan seorang bocah yang disinyalir adalah the one, atau Avatar. Avatar sendiri maksudnya adalah sosok yang bisa melindungi dunia dengan segala kemampuannya. Hidup Avatar tidak sehat, karena menjadi buronan Pangeran Zukko (yang juga memiliki masalah pribadi dengan ayahnya) dan harus menyempurnakan semua elemen dunia. Aang, Katara, dan Sokka akhirnya melakukan perjalanan demi mencapai perdamaian dunia keempat elemen : Air, Water, Earth dan Fire.

Apa yang telah Shyamalan perbuat? Saya sungguh tidak menyangka jika hasil akhir film ini begitu hancur lebur. Okelah, saya mengerti sekali jika Shyamalan mau bereksperimen sedikit dengan sedikit keluar jalur dari anime-nya, tapi apa yang ia lakukan di sini saya bilang sebagai pemusnahan karakter. Shyamalan dengan tega merubah image para tokoh. Lihat saja Katara, Sokka dan tentunya Aang. Katara yang serius dan sensitif direka Manoj menjadi sosok yang tingkat annoyance-nya berlebihan, Sokka yang terkesan lucu dan menjadi penghantar humor di serialnya menjadi sok serius, konyol dan merusak. Bagaimana dengan Aang? Keputusan Manoj untuk merekrut pemain baru yang jago beladiri patut diapresiasikan. Oh Manoj, itu saja tidak sangat cukup. Aktor itu juga harus bisa berakting, dan Noah Ringer sama sekali nol besar dalam masalah itu semua. Gelitikan Aang versi kartunnya terasa lenyap dan semakin menjunjung ketidakbetulan film ini.

Hal pokok yang wajib dikritik adalah pemilihan aktor. Lupakan ketiga tokoh tunggal tadi yang benar mis-cast. Lihat betapa menyedihkannya jika masuk teritori Fire Nation yang dihuni oleh kumpulan dari kampung Mahatma Gandhi. Sepertinya Shyamalan membuka kesting besar-besaran di India. Jadilah, Fire Nation seperti kampung pinggiran di negara India. Parah lagi akting mereka ala kadarnya. Manoj, tidak sekalian ngajak Amitha Bachnan, Aiswarya Ray, Ajay Devgan, Kajol, atau Shah Rukh Khan mungkin?

Saya juga mengerti jika Anda akan merasa kebosanan melihat seluruh joke yang dilontarkan pemainnya, garing dan (YA AMPUN!) menyedihkan.
Sekarang masalah efek. Tidak ada yang spesial yang disajikan supervisor special effect di film ini. Semua cuma pengulangan dari film-film sejenis. Sosok Appa yang raksasa tidak beda dengan raga beruang besar di The Golden Compass, adegan tsunami yang bisa kita liat lebih memukau di 2012, serta adegan laga yang seperdelapannya pun tidak sanggup menyamai seri The Lord of The Rings.

Satu-satunya keunggulan The Last Airbender adalah view, landscape, dan visual yang disorot kamera dari sudut pandang langit. Indah memang.
Sayangnya itu tidak diperindah dengan skor musik yang nyatanya milik serial anime-nya pun lebih bagus.


Sebuah film (lagi-lagi) saduran yang (lagi-lagi) merusak produk orisinilnya. Shyamalan jelas-jelas gagal dalam mengeksekusi The Last Airbender menjadi film yang bagus, layak tonton bahkan menghibur. Semoga Shyamalan bisa belajar banyak dari kegagalannya di film ini, dan membuktikan pemikiran negatif atas dirinya serta mampu mengangkat harkat martabatnya kembali di dunia perfilman lewat Book 2. Aminnnnn.