Director : Mouly Surya
Cast : Ladya Cheryll, Donny Alamsyah, Kinaryosih, Aty Cancer
Rate : 4/5
Memperhatikan film Indonesia, berarti mau tak mau saya harus jua mengkritik betapa kemonotonannya sineas lokal kita dalam berkarya. Jelangkung yang sukses luar biasa waktu itu ternyata menjadi pintu gerbang dan mata rantai bagaimana perkembangan film
Si wanita yang terpenjara dalam ketentraman rumahnya menemukan cara baru bagaimana ia mesti menghadiahi kepenatannya dari seorang pembersih kolam renang di rumahnya. Menguntit sang lelaki itu hingga ke rusun tempat tinggalnya, si wanita tambah menikmati lebih jauh ke arena permainan absurd-nya. Apa yang telah ia kelola di otaknya, akhirnya ia tumpah ruahkan lewat lingkungan barunya itu. Berbekal kecantikan serta keluguan luar biasa,
Mouly Surya sebagai dedengkotnya harus diberi penghargaan tertinggi berkat kerja kerasnya di film ini. Mouly yang mencoba membangkitkan perfilman Indonesia, dan ternyata ia mampu, memang benar-benar telah menyokong ide klasiknya lewat tampilan yang kelam. Fiksi memang mengambil jalur kekejaman dari seorang wanita, tapi Mouly tidak lupa memasukan unsur feminisme yang kekal dari sosok artisnya. Ya, Ladya Cheryll sebagai psikopat tuntas mempraktekan seni aktingnya dengan sangat gemilang. Penransferan sifat sarkastik nan psikotistiknya jelas terpampang dari gesture dan air muka yang ia perlihatkan. Menyenangkan melihat sosok aktris yang bisa seprofesional ini. Tidak ada kecanggungan, tidak ada keegoisan, tidak ada keterpakasaan berakting. Dan Ladya melebur dengan sempurna.
Kembali ke Mouly, beliau tidak lupa menyertai beberapa konflik pelik yang mengitari daerah rumah susun tersebut. Guna untuk menambah cerita bahkan sanggup untuk menjadi subplot yang bagus, dan tidak ada kesan ‘harus ada’. Semua berjalan searus dengan narasi yang diperdengarkan lewat mulut aktrisnya. Mouly memang tidak main-main dalam menyentil norma dan adat kesopanan bagi kaum pinggiran
Spot-spot daerah rusun ditelusuri dengan apik lewat arahan kamera. Dilengkapi pula dengan kemerduan suara musiknya, lengkaplah Fiksi menjadi suatu produk yang harus dikonsumsi bagi penonton yang rindu akan film
Kesimpulannya, Fiksi. boleh saja bersifat fiksional dan tak lumrah dalam kehidupan kebanyakan. Tapi, Fiksi. hadir sekaligus menyajikan sebuah layar yang mampu mendefinisikan tolak ukur manusia dalam menentukan sikap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar