Director : Hanung Bramantyo
Cast : Lukman Sardi, Zaskia A. Mecca, Slamet Rahardjo, Suiwo Tejo, Ikranegara, Giring
Rate : 4/5
Pertama kali saya akan memulai dengan pertanyaan : mengapa Hanung Bramantyo mengangkat seorang K.H. Ahmad Dahlan untuk biopiknya kali ini? Jika mau berasumsi dan mengira-ngira, ada banyak tokoh perjuangan Indonesia yang lebih hebat bahkan sangat berpengaruh bagi negara. Mengapa harus Ahmad Dahlan? Mungkin Hanung ingin lebih membuka perasaan umat muslim akan kebenaran sebuah agama. Dan mungkin Hanung juga ingin menyindir negara kita yang Islam-nya mulai tercerai-berai. Apapun motif Hanung, Ahmad Dahlan saya rasa memang sepatutnya diumbar oleh sineas untuk mengetahui sepak terjang pembaharuan Islam di kalangan umat Rosul, khususnya di Indonesia.
Ahmad Dahlan yang berulang tahun setiap tanggal 1 Agustus adalah pendiri organisasi Muhammadyah. Sebelum terbentuk, Ahmad Dahlan beserta kerabatnya mendapat tentangan dan fitnahan yang menuduh jika kehadiran Muhammadyah adalah hanya sebuah propaganda umat kafir untuk menghantam kaum Islam. Dengan segala kegigihan dan seluruh idealisme serta kepercayaannya kepada si Empu-nya dunia, Ahmad Dahlan tetap teguh pendirian dan membawa bendera keberhasilan sampai pemerintah memberikan gelar Tokoh Nasional atas empat pokok penting : menyadari sebagai bangsa terjajah, memberi kemurnian agama Islam, mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan, serta memberikan jalan untuk para wanita dalam mengenyam ilmu pengetahuan.
Untuk cerita di filmnya sendiri memang sama dengan apa yang telah terjadi di jamannya. Hanung bekerja ekstra keras untuk menuntaskan segala pe-er-nya atas genre biopik. Mulai dari art direction hingga set dekorasi yang hampir sesuai umur, tata make-up yang tidak berlebihan, kostum yang alami serta efek yang pas porsi. Itulah mengapa saya katakan Sang Pencerah berhasil dari segi keotentikan masa. Atmosfer tahun 1860-an memang dijaga para kru semaksimal mungkin. Dan, ponten 100 untuk DoP film ini yang berhasil menampilkan lukisan-lukisan indah yang bergerak sepanjang film. Apa jadinya jika sebuah biopik lampau tanpa tata kamera yang lihai. Untuk musiknya sendiri pun tidak asal dentuman. Komposernya jelas tau desibel apa yang mesti dibunyikan untuk setiap adegan.
Hanung memang berjasa besar untuk feature yang satu ini, tapi jika tanpa bantuan dari pekerja lain juga mungkin akan sia-sia. Hal lain yang patut dijunjung tinggi adalah kutipan-kutipan dialog berkualitas dari penulis skripnya. Apa yang terucap dari para aktornya seperti penggalan-penggalan petuah sarat makna yang bisa ditelisik per kalimat. Oleh sebab itu, aktor amatiran pun seperti hebat atas bantuan naskahnya.
Berbicara soal para pemain, casting director-nya benar-benar brilian. Pemilihan Lukman Sardi akhirnya tidak mubasir. Lukman merasuki ruh Darwisy ke segenap raga batinnya. Walaupun agak beda dari raut muka, tapi penyampaiannya jelas tertuju sekali. Begitu pula dengan para penggiring aktornya. Tidak ada yang mesti dibenahi. Semua menutupi satu sama lain. Kolaborasi yang menyenangkan dari sebuah film Indonesia yang sedang dilanda krisis mutualisme.
Sang Pencerah memang banyak mengajarkan kita betapa pentingnya berkompromi dan betapa indahnya kebersamaan tanpa perselisihan. Tokoh Ahmad Dahlan yang telah membawa nafas baru akan Islam yang ortodoks pada waktu itu disampaikan dengan sangat fokus. Sang Pencerah juga telah membeberkan serangkaian kejadian lampau yang mesti menjadi momen historikal bagi kawula muda jaman sekarang. Tidak ada salahnya mencontoh semangat revolusioner seorang Kiai ini. Penghujung paragraf, film ini sangat saya rekomendasikan. Apalagi mengingat momentum Hari Raya Besar umat Islam, Hari Raya Idul Fitri 1431 H.
Hanung Bramantyo memang berhasil menyajikan setting yang mengagumkan, nice blog...:-)
BalasHapusAdit, lihat blog saya juga ya...
http://moviebuzzter.blogspot.com/
aku lebih milih The expandables pas ke PIM kemaren dit haha penuh nian sang pencerah males aku. madak nak nonton di depan layar niaan..
BalasHapus