Director : Gillian Armstrong
Cast : Guy Pearce, Catherine Zeta-Jones, Soirse Ronan, Timothy Spall
Rate : 3/5
Disarankan sekali untuk tidak membandingkan film ini dengan The Illusionist ataupun The Prestige. Kendati masih dalam satu lini dunia majis, tapi tetap saja pembagian genre sulapnya berbeda. Jika The Illusionist lebih kepada ilusi dan The Prestige menjurus ke magician, maka Death Defying Acts mengalir pada roda eskapolojis. Escapologist suatu seni sulap yang berupa penyalamatan diri dari sesuatu yang mengikat pada diri si pesulap. Tidak banyak memang film yang mengumbar kecerdasan dalam hal trik menipu begini. Karena selain dibutuhkan cerita yang kuat, harus diselipi berbagai teknik sulap yang menjadi basis filmnya sendiri.
Kali ini Harry Houdini, superior dalam hal escapologis coba diangkat ke pita seluloid. Tahun 1926, Houdini tur keliling yang akhirnya menetap sementara di Edinburgh untuk melakukan berbagai pertunjukkan kemampuan sulapnya. Dia membutuhkan relawan sebagai opening pertunjukannya. Mary MacGarvie serta anaknya, Benji, berusaha mengikuti audisi tersebut. Liciknya, tujuan awal dua beranak itu adalah untuk mendapatkan sejumlah uang atas sayembara yang disediakan oleh Houdini sendiri. Mudah ditebak, Houdini -yang memiliki masa lalu suram- dan Mary terlibat intrik cinta. Segala hal yang makin mempermudah Mary dan Benji dalam mewujudkan impiannya.
Film ini memiliki kans sukses dan hancur sama imbangnya. Prediksi sebelumnya yang akan menyerupai film sulap berbobot lainnya akhirnya harus dipendam dalam-dalam setelah melihat hasil akhir film ini hanya sekadarnya. Banyak lobang yang harus ditutupi oleh Gillian Armstrong guna menyempurnakan karyanya ini. Karakter yang kurang tergali menyebabkan kekuatan akting pemainnya jadi melempem. Padahal, kalau boleh menilai, Gillian sepertinya tidak perlu kesusahan. Toh hanya 4 aktor saja yang harus diarahkan dengan maksimal. Jadinya, selain Saoirse Ronan yang bermain cukup hebat, ketiga pemain pokok lainnya jadi kurang maksimal. Terbukti Ronan sempat memenangkan Best Supporting Actress di Irish Award. Selain masalah akting, eksekusi Houdini sebagai seorang eskapolojis tidak ditonjolkan. Jadi, transisi Houdini di sini seakan hanya sebagai seseorang yang melakukan pelarian akan dunia masa lalunya. Teknik sulapnya hanya disediakan beberapa saja. Itupun hanya yaaaaaa, kurang menghiburlah.
Mungkin itu semua terjadi karena sang scripwriter-nya sendiri terlalu mengesampingkan sosok Houdini sebagai pria yang berpengaruh bagi dunia. Padahal, jika saja pertengahan film sedikit diperbobot, sudah pasti edinngnya yang bagus itu jadi tidak sia-sia. Sangat disayangkan untuk duet sutradara yang telah menelurkan masing-masing Tideland dan The Interpreter ini. Di luar itu, sinematografi dan direksi seni film ini bolehlah diacungi jempol. Suasana tahun 20-an terasa sedikit nyata dan memang membangun atmosfer yang ada. Warna-warna kelam dan buram mungkin memang dimaksudkan atas pementalan seorang Houdini akan ibunya. Hal lain yang cukup patut diapresiasikan adalah soal pilihan musiknya. Soundtrack Death Defying Acts keseluruhan sangat pas dalam menetralisir adegan per adegan.
Untuk menjadi sebuah film drama menegangkan yang dibalut dengan romansa, sepertinya genre itu gagal dijangkau. Apalagi jika harus masuk kategori biopik yang penuh dengan kegelisahan Houdini. Tapi, untuk sebuah tontonan sore hari, film ini bolehlah ditoleh. Karena selain pesan agar tidak terlalu ngotot dalam mencapai sesuatu dan harus melepas diri dari masa lalu, film ini juga menyisakan sedikit angin segar berkat penampilan menarik-lucu dari aktris berbakat Saoirse Ronan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar