Director : Valerie Faris & Jonathan Dayton
Cast : Greg Kinnear, Toni Collette, Paul Dano, Steve Carrell, Alan Arkin, Abigail Breslin
Rate : 4,5/5
Dengan dominasi warna kuning, saya artikan jika posternya sendiri menunjukkan sebuah kehangatan yang universal. Tetapi penekanan pada Little Miss Sunshine terletak pada keselarasan dan keseimbangan sebuah keluarga. Topik yang sering sekali diangkat oleh sineas dunia, dan rata-rata tema begini termasuk sukses memburu hati penonton hingga tertawa dan menangis. Untuk dikatakan sebuah karakter dan sempurna, tokoh-tokoh di Little Miss Sunshine jauh dari pandangan itu. Bahkan kalo boleh dinilai, disfungsional character lah yang menyertai film berdurasi 90menitan ini. Tapi, jangan pesimis dulu. Dengan naskah yang kuat, film murah ini menyeruak ke permukaan festival-festival dunia sebagai salah satu yang terbaik. Mengesankan jika melihat parodi kehidupan dengan tingkat ironis yang begitu tinggi tapi juga menghibur secara bersamaan.
Bayangkan, di satu rumah terdiri dari seorang ayah, ibu, 2 orang anak yang salah satunya aneh, paman dan kakek. Semuanya memiliki sikap yang berlawanan. Kesenjangan satu sama lain ditampilkan dengan begitu luwes. Perhatikan saja adegan di meja makan. Bukan bermaksud spoiler, tapi adegan tadi berjalan sangat lentur dan menyisakan sebuah pemikiran betapa kerukunan itu dimulai dari saling mengerti. Mereka ditakdirkan untuk melakukan perjalanan jauh. Di sepanjang jalan inilah, sang penulis naskah dengan cerdas memberikan part-part yang tidak berlebihan kepada setiap tokohnya. Dengan masing-masing masalah dan beban hidup, kesemuanya ditunjukan dengan wajar tanpa ada kesan menguliahi.
Uniknya lagi dan pintarnya sutradara, mampu merangkai kesenjangan tadi menjadi suatu paket yang menarik. Tidak ada bagian yang membosankan, sebaliknya sepanjang film adalah kegembiraan yang menyakitkan. Kenapa saya bilang menyakitkan? Karena tadi, melalui sebuah road trip, semua yang semula tak terpikirkan benar-benar terjadi. Dan itu menyakitkan! Penonton akan kaget dengan semau kejutan yang semakin menyempurnakan film ini. Belum lagi jika menuju ending, di situlah puncak sebuah keharmonisan sebuah keluarga ditampilkan. Merasa salah seorang di antara mereka akan merasa dirugikan, mereka bergegas mengambil sikap yang menguntungkan. Yah, walaupun ujung-ujungnya tidak beruntung juga.
Jonathan Dayton dan Valerie Faris termasuk beruntung karena mendapatkan aktor yang bermain solid dan saling mendukung satu sama lain. Ensemble cast kalo boleh saya bilang. Greg Kinnear, Toni Collette, Alan Arkin, Steve Carrell, Paul Dano, dan Abigail Breslin bermain tanpa cela. Semuanya melebur menjadi satu kesatuan yang berimbang. Tidak saling menonjolkan diri, itulah saya sebut sebuah kesederhanaan dengan kekayaan makna. Dengan naskah yang kuat, tak pelak bagian skrip mendapatkan kemenangan di ajang Oscar dengan Michael Arndt yang bertanggung jawab. Setali tiga uang dengan Alan Arkin yang menakjubkan dengan peran sintingnya. Sulit sekali rasanya saya harus mencari-cari sebuah kesalahan, karena di mata saya film ini hampir mendekati sempurna. Tidak ada cerita yang berbelit-belit, yang dibutuhkan hanya sebuah keterikatan karakter satu sama lain. Sekali lagi, itulah yang membuat Little Miss Sunshine megitu megah.
Film ini sedikit banyak mengajarkan kita bagaimana bersikap antar penghuni rumah yang kita singgah. Kemajemukan jiwa dan heterogen sikap memang agak rumit untuk disatukan. Tapi percayalah, lambat laun hal itu akan terjadi jika kesemuanya memiliki sikap terbuka. Satu hal lagi yang saya liat melalui film ini adalah sebuah pengharapan. Kita hanya butuh doa dan kerja keras untuk membuat sebuah perharapan menjadi kenyataan. Jika hal itu tidak terjadi, dunia belum kiamat. Tentukan sikap bagaimana pengharapan tadi bisa muncul dari ubun-ubun kepala dan terlaksana dengan tangan dan kaki yang bediri sendiri. Maaf saja jika saya seperti berpidato yang bukan-bukan, tapi itulah esensialitas Little Miss Sunshine di mata saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar